Tenggelam

579 110 22
                                    

"Tenggelam... tenggelam... dan tenggelam.... Tenggelamlah dalam penyesalan yang tak berbendung."



Namun, alih-alih Bapak yang kembali. Justru Pangeran Mangkudikoro yang ada di hadapannya. Simbok tergopoh-gopoh kembali masuk dalam kamar, masih lengkap dengan banyaknya tentengan yang ada di kedua tangannya.

"Tidak ada yang bisa meninggalkan Keputran saat ini, Bathara." Pangeran Mangkudikoro menjawab semua pertanyaan yang hadir di benak Bathara, "Raja telah mengeluarkan titahnya untuk mengunci rapat seluruh pintu yang ada di Keputran. Menyiapkan lebih banyak abdi dalem untuk berjaga, di setiap regol*, setidaknya ada lima."

Bathara menatap sengit Pangeran Mangkudikoro. Ia tahu ada maksud lain Pangeran Mangkudikoro datang ke tempat ini. 

Pangeran Mangkudikoro beralih menatap cermin besar yang ada di kamar milik Bathara, "Kamu tahu, Bathara? Cermin ini juga yang digunakan oleh Sujatin kala itu, seorang yang menentang praktik feodalisme, juga yang menolak berbahasa Jawa. Sujatin bilang jika ia tak senang membedakan orang dari kastanya, juga membedakan manusia melalui bahasa.** Cermin ini, melambangkan pembebasan dari kekangan. Cermin ini simbol dari keberanian yang sudah ada dalam diri manusia, sejak lama." Pangeran Mangkudikoro berdiri di samping cermin itu, lantas membersihkan beberapa ukir-ukirannya yang sedikit berdebu dengan telapak tangannya sendiri.

Bathara tak pernah tahu maksud dari setiap ucapan Pangeran Mangkudikoro, semuanya seperti teka-teki yang harus banyak dipikirkan sebelum mendapatkan titik terang.

"Maka dari itu, satu pesanku untukmu. Tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan, Bathara. Semua masalah datang dengan solusi. Ia tak dibiarkan menggantung begitu saja. Hanya saja, apakah manusia itu berani untuk mengambil segala konsekuensinya atau tidak. Tidak ada yang tahu. Masalah itu terlihat besar jika tidak dihadapi. Lantas, hadapilah, begitu cara manusia hidup selama ini

Ingat terakhir kali kamu terkurung di kamar ini? Waktu itu tak ada yang percaya dengan semua ucapanmu bahwa Nakula masih hidup. Waktu itu saya juga dikirim untuk meyakinkanmu bahwa Nakula sudah mati, tapi tak ada yang bisa menipu penghageng Banjar Willapa ini, Nak, kita mencatat semua yang terjadi di istana ini, tanpa ada tedeng aling-aling, tanpa ada semua tipu muslihat, tanpa kebohongan.

Saya tahu sedari awal Nakula tak pernah mati.

Jadi, untuk menebus segala dosa yang mungkin tertimbun dan semakin besar dari waktu ke waktu, ingatlah kata-kata ini, Bathara. Prasasti Pucangan*** menggambarkan gugurnya perkawinan antara Airlangga dengan Putri Dharmawangsa Teguh, perkawinan Panji Wireswara dan putri mahkota Kerajaan Daha dicatat dalam Wangbang Wiedya****, juga sederet kitab seperti Kutaramanawa. Sejarah telah mencatat itu semua, Anakku. Bacalah, dan temukan solusi dari pergumulan hatimu. Supaya tenang hadir dalam hidupmu."

"Lalu bagaimana cara mendapatkannya jika bahkan saya tak bisa keluar dari Keputran ini, Pangeran?"

"Bukan berarti abdi-abdimu yang lain tidak bisa, Bathara. Dirimu punya telik sandi yang sangat mumpuni, Bathara. Seseorang yang dianggap semua orang tidak berdaya, justru ia yang paling berbahaya. Ia yang bahkan bisa mendengar semua hal yang ada di kedathon ini tanpa harus dicurigai."

Mata Pangeran Mangkudikoro beralih pada Simbok. "Pada zaman dahulu, telik sandi kerajaan mataram adalah wanita-wanita sepertimu, yang bebas keluar masuk kedathon, bahkan tempat-tempat paling dalam sekalipun. Pada kamar Raja, bahkan kamar mandinya, tanpa dicurigai. Jadi, Banjar Willapa bukan hal yang besar untukmu, kan?"

☁︎☁︎☁︎

Simbok kembali lima belas menit kemudian, dengan setumpuk buku romansa juga dengan kitab yang diminta oleh Pangeran Mangkudikoro. Ada dua belas buku yang bertumpuk di atasnya, dan ia selipkan Kitab Kutaramanawa di antara buku-buku tebal itu.

Gotta Be You - JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang