AUTHOR NOTES:
Cerita ini dituturkan dengan dua sudut pandang. Sudut pandang orang ketiga, ada pada saat Bathara dan Nakula masih bersama (dan mungkin akan kembali bersama). Sedangkan setelah Bathara kehilangan Nakula, ceritanya akan ditulis dengan sudut pandang orang pertama--aku.
Karya ini merupakan karya fiksi. Semua latar tempat dalam cerita ini memang mengambil referensi dari tempat-tempat asli, namun semua kejadian yang ditulis dalam cerita ini tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan.
BATHARA POV
Yogyakarta, 4 Tahun Setelah Kejadian.
Apakah masa lalu selalu kembali kepadamu? Sekuat apapun kamu mencoba menimbunnya, menggantikannya dengan memori-memori lain. Mengikatnya dalam kardus dan menyimpannya pada tempat terdalam di hidupmu. Masa-masa itu seolah berhenti, dan ketika aku meminta kepada Tuhan untuk memberikan lupa, yang justru Ia lakukan adalah membuat semuanya semakin ketara. Bayangan itu, nama itu, semua hal-hal tentangnya justru seolah disodorkan oleh semesta. Tepat ketika yang bisa kudekap hanya surat terakhirnya, kalimat yang tak sampai dua ratus kata itu yang ia pilih untuk menyudahi empat tahun hubungan kita.
Pagi ini aku melewati jalanan lengang menuju Graha Saba. Melewati boulevard yang pembangunannya kini terpaksa mandek karena debu-debu setebal lima senti yang menghalangi jarak pandang. Laju roda-roda ini melewati persimpangan tepat di dekat jalan humaniora, membuka lagi kenangan ketika aku melihat Fakultas Bahasa dan Sastra yang diapit oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis, juga dengan Fakultas Psikologi. Mobil ini berhenti tepat di Gedung Koesnadi, membiarkan Helio lebih dulu turun, mengepak dua boks besar yang berisi masker-masker yang akan kami kirimkan ke daerah Magelang.
"Jangan keluar, debu-debunya banyak banget, Yang." Aku hanya menggeleng, pasca letusan Merapi beberapa hari yang lalu, kami mendaftar menjadi relawan. Orang di sebelahku dengan sigap mengambil masker dan juga kacamata untukku.
"Aku cuma pengen lihat-lihat aja, rindu kampus." Rindu juga kenangan yang terjadi semasanya. Dan mungkin, ini sebuah ajang uji diri... bahwa sebenarnya aku sudah baik-baik saja, lebih dari sekadar baik. Barang kali juga, aku percaya, bahwa Nakula akan menjadi satu memori manis di ujung lidah yang suatu saat dapat aku ceritakan dengan penuh suka, dan tak lagi ada duka.
"Jangan jauh-jauh jalannya." Helio kemudian dengan sigap kembali ke dalam. Gedung Koesnadi kali ini disulap oleh pemerintah sebagai tempat logistik. Dan sejauh lapang memandang, aku hanya melihat debu-debu abu-abu yang menutupi hampir setiap tempat. Juga dengan lampu-lampu di sekitar pedestrian yang kemudian berpendar buram di antara tebalnya kabut putih yang menghalang. Ketika aku melewati kolam kodok, pun juga dengan kantin Bonbin yang biasanya ramai, aku tak menemui lalu-lalang orang. Lelah, aku akhirnya duduk di salah satu bangku kecil mencoba melihat sekeliling.
"Mas Bathara...?"
Aku mengangguk, melihat ke arah sumber suara. "Iya?" ucapku dengan sedikit ragu.
"Ra?" suara Helio tergesa datang dari sisi yang lain. "Siapa?"
"Mas Bathara inget saya, ndak? Saya inget soalnya Mas Rara yang suka bagi-bagi kue bantat di Pos Satpam." Satpam itu mengelak tawanya, aku diam tak berekspresi. Sekejap kemudian orang di depankku itu menimbulkan raut muka merasa terlalu lancang, sepertinya. "Tapi-tapi ndak apa-apa, kok, Mas. Kuenya enak."
Aku meringis kecil. Sedikit merasa bersalah karena sama sekali tak ingat dengan sosok ini. Aku banyak berusaha untuk melupakan banyak hal, buru-buru menyelesaikan studi, menghilang dari klub radio, kemudian memilih satu tempat di belahan bumi yang lain. Menyibukkan diri. Membuat diri tidak bisa berpikir tentang hal-hal yang lain. Mengira bahwa satu-satunya cara untuk melupakan bukan dengan berusaha, tapi menimbun dengan ingatan-ingatan lain. Dengan cerita-cerita lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...