"Aku menganggapnya telah tiada, karena begitulah satu-satunya cara aku bisa rela melepasnya."
Bathara melangkahkan kaki menelusuri Bangsal Sri Manganti, melewati bagian regolnya, dan tanpa berhenti, kaki-kaki tanpa alasnya menapaki ubin yang baru saja disikat. Tubuhnya bahkan abai meski ia punya ketakutan sendiri dengan patung-patung Bathara Kala yang ia temui hampir di seluruh kedhaton, matanya melotot, dengan lidah menjulur, dan juga gada besar yang selalu dipegang erat. Ia juga melewati barisan abdi dalem yang sedang berlatih tari, juga dengan beberapa pembatik yang sedang melakukan proses nyanting.
Kali pertama ia kembali menginjakkan kaki di tempat ini, setelah empat tahun Nakula pergi. Ia kembali menghirup aroma kenanga, cempaka, dan melati yang bercampur dengan malam yang terbakar. Ia kembali merasakan dingin ubin, panas tanah, juga dengan teksturnya–kasarnya batu batu andesit, halusnya marmer–melalui kaki telanjangnya. Empat tahun berselang, namun istana ini tak banyak berubah.
Bathara berulang kali berpapasan dengan abdi dalem yang sedikit menunduk ketika bertemu dengannya. Ia masih bertemu Mas Sono di bagian depan, masih bertemu dengan Pak Wilujan yang kacamatanya mungkin semakin lama semakin tebal, juga dengan Mbok Emban yang membawa bak pakaian kotor dari keputren. Ia menginjakkan kaki di tempat ini bukan lagi sebagai seseorang yang pernah ditinggalkan oleh calon suaminya, tapi sebagai abdi dalem yang memenuhi titah rajanya.
Dan pernakah Bathara bilang? Bangunan menjadi saksi bisu kehidupan manusia. Ia merekam banyak hal lebih dari ingatan manusia.
Di bawah pohon keramat itu, ia dan Nakula pernah bermain ketapel.
Di bangsal Kesatriyan yang kini sepi, ia dan Nakula pernah bertemu sembunyi-sembunyi.
Di bangsal Sri Manganti, ia pernah berlatih tari, hingga kaki-kakinya seolah mati rasa.
Di gelap malam sekitar Beteng Cepuri, ia pernah mengutarakan rasa. Memberikan sepotong hatinya untuk Nakula dan berakhir menyesalinya.
Ia akhirnya pulang dengan remuk redam dan menyadari satu hal: bahwa berharap dengan manusia adalah perihal sia-sia.
Bayangan empat tahun yang lalu kembali hadir dalam benak Bathara. Nakula yang dikabarkan ada dalam kecelakaan saat hendak berkunjung ke rumah eyang, suara tangis yang meraung dari tiap-tiap bangsal, juga janur-janur kuning yang ada di tiap-tiap plengkung yang kemudian diganti dengan bendera putih yang berkibar. Pernikahanya dalam satu malam digantikan dengan iring-iringan kereta Jatayu. Bunggah yang hadir dalam hatinya, dalam satu malam berubah menjadi muram. Namun, Bathara tak akan melupakan raut muka Rama kala itu. Raut muka tanpa mimik terluka, tanpa ada bayangan kegusaran maupun nestapa.
Mungkin tak ada yang bisa menggambarkan rasa sakit yang dirasa.
Ia habiskan malam-malam berikutnya dengan terus menangis. Sedangkan ia dengar Gusti Kanjeng Raja dan Ratu tiba-tiba berkunjung ke Belanda.
"Mereka butuh waktu, untuk semua orang tua, kehilangan anak menjadi sesuatu rasa sakit yang tak pernah bisa dideskripsikan rasanya. Oleh karena itu, bahasa kehilangan kata untuk mendeskripsikan rasa itu: anak yang ditinggalkan oleh ayahnya disebut dengan yatim, anak yang ditinggalkan oleh ibunya disebut dengan piatu, keduanya–yatim piatu, tetapi apa bahasa punya kata untuk orang tua yang ditinggalkan oleh anak-anaknya? Bahasa kehilangan kata, Bathara. Bahasa kehilangan kata." Kata-kata itu yang diucapkan Pangeran Mangkudipuro kepadanya, sebagai suatu bentuk penghiburan. Meskipun yang satu-satunya Bathara rasa adalah lara yang melingkupi dadanya.
"Saya memilih tak percaya, jika jenazah Nakula bahkan belum pernah saya lihat." Itu kalimat terpanjang yang Bathara ucapkan setelah kebisuaan yang cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gotta Be You - Jaemren
RomanceSurat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebagaimana mestinya: meskipun kehilangan orang yang paling dicintai memang tak memiliki penawar. Ia menge...