Zeke memelankan laju Black ketika ia tiba di rumah sakit. Di sana, ia bisa melihat Anna duduk di serambi rumah sakit dengan wajah menunduk. Tidak ada siapa-siapa, hanya dia sendiri di sana.
Setelah mengikat Black di pohon, ia segera mendekati Anna. Gadis itu melamun, ia tahu. Jika tidak, Anna sudah pasti menyambutnya saat mendengar derap kaki Black.
Tepat setelah di tiba di depan Anna, ia berlutut. Ia meraih tangan Anna dan menggenggamnya erat hingga sang pemilik terhenyak kaget.
"Zeke," lirihnya. Ia membiarkan Zeke memeluknya lemah. "Zeke, apa kau baik-baik saja?" tanyanya tanpa tenaga. Aroma asap, minyak tanah, anyir darah, hingga bau apak yang bercampur jadi satu membuatnya tak dapat berasumsi bahwa Zeke baik-baik saja.
Zeke menggeleng. Ia jauh dari kata baik-baik saja dan ia tidak mau membohongi Anna. Ia lelah. Ia kacau. Ia ingin segera pulang dan mengakhiri semuanya. Kenyataan bahwa Jonathan kini sudah mati adalah satu-satunya yang membuat beban di pundaknya sedikit terangkat.
Anna meraih tubuh Zeke untuk duduk di sampingnya. Ia kemudian mengambil botol air minum yang masih utuh. Tenaga medis memberikannya minum tadi, tapi sama sekali belum ia sentuh. Ia buka botol tersebut dan memberikannya pada Zeke.
Sambil mengamati cara Zeke minum, Anna berujar, "Zeke, terima kasih."
Mendengar ucapan tulus itu membuat Zeke bingung. Ia terus menatap Anna, bahkan setelah ia menghabiskan seluruh isi botol itu guna mengganti cairan di tubuhnya.
Sekali lagi, Anna memeluk Zeke. Tangannya mengusap tubuh yang penuh dengan luka lebam itu pelan. Tubuh yang seharusnya begitu lemah dan mendapatkan perawatan intens itu justru kini berjuang demi keadilan orang-orang kecil.
"Apapun yang sudah kau lakukan, terima kasih. Kau melakukan yang terbaik," bisiknya tepat di telinga Zeke.
"Bahkan setelah aku menjadi pembunuh?"
Anna melepaskan pelukannya. Wajahnya sama sekali tidak terkejut, justru ia tersenyum. Tangannya mengusap wajah kusam yang kini sedikit gosong karena abu.
"Kau bukan pembunuh, Zeke. Kau melakukan hal yang benar. Jonathan hanya bisa dihentikan dengan mengambil nyawanya."
Zeke masih belum menerima kenyataan bahwa ia menjadi pembunuh untuk membalaskan dendamnya. Mungkin beberapa menit yang lalu ia adalah pihak paling kejam yang tidak memiliki nurani saat melihat Jonathan terbakar. Tapi kini, ia bahkan bisa merasakan sesal saat ia harus menyandang predikat pembunuh seumur hidupnya.
Kepala Anna menggeleng. Seolah ia mengerti isi kepala Zeke yang terus menentang kebaikan hatinya. Ia ingin mengusir semua kegundahan di mata tajam itu.
"Sekarang lupakan itu." Anna melirik ke arah rumah sakit. "Kita pergi melihat Rylee, ya? Dia sudah melewati masa kritisnya," ujarnya disertai senyum kecil.
Tubuh Zeke menegak mendengar nama sang adik disebut. Ia lantas bangkit. Bersama dengan Anna, ia masuk ke sebuah ruangan di mana Rylee terbaring dengan infus di tangannya. Di sampingnya, Robbin duduk dan senantiasa menunggu sang kekasih terbangun. Sementara itu, Sam duduk di lantai, bersandar pada sekat antara ruangan itu dan ruangan sebelah. Pandangannya kosong, pikiranny terus mengarah pada Peter.
Ketika pintu terbuka, Sam dan Robbin langsung menoleh ke arah Zeke. Sam menegakkan badannya.
"Bagaimana?" tanya Robbin.
Tentu saja Zeke tahu maksud pertanyaan Robbin. Ia mengangguk kecil, membuat Robbin mendesah lega. "Jonathan sudah mati. Terbakar di kedai arak," ucapnya singkat. Mungkin lain kali ia menjelaskan kejadian secara detail.
"Lalu, di mana Peter? Apakah kau menemukannya?"
Zeke menoleh saat Sam menghampirinya. Wajahnya sembab. Sudah pasti ia menangis diam-diam. Pasti itu lah alasan Anna menyendiri karena ia tidak ingin mengganggu kesedihan Sam.
KAMU SEDANG MEMBACA
LITTLE CLICHÉ - Jung Jaehyun
Fanfiction(Finished) - Bahasa Baku Saskatchewan, 1969. Dendam Scott begitu besar kala itu. Membunuh tanpa pandang bulu adalah salah satu rutinitasnya. Saskatchewan, 1981. Tanpa pernah sadar, dendam itu justru menumbuhkan dendam-dendam baru; layaknya bumeran...