"Peter!" Sam berteriak histeris. Satu inci saja Peter bergerak maju, pria itu akan terjatuh.
Pria itu terkejut saat namanya dipanggil, terlebih lagi oleh Sam. Tubuhnya yang berjengit itu membuatnya hilang keseimbangan. Tumitnya yang menjadi tumpuan terakhirnya itu terselip dan membuatnya hampir jatuh jika saja ia tidak berpegangan pada teralis di belakangnya.
Sam merasa jantungnya jatuh ke perut saat melihat aksi nyaris itu.
"Sam, apa yang kau lakukan di sini?" Peter bertanya dengan suara bergetar. Ia membenarkan posisi kakinya, menatap Sam dengan tatapan tajam.
Ia tentu berusaha membuat Sam lari darinya dan membiarkannya mengakhiri hidup.
"Tunggu di sana." Sam lantas berlari masuk. Ia menyusul Peter yang kini berada di lantai tiga bangunan tua itu.
Sementara itu, Peter mulai menangis. Bukan, ia tidak lagi takut dengan kematian. Ia hanya merasa tak pantas ketika Sam memutuskan untuk datang padanya. Ia merasa sangat berdosa ketika dirinya tidak ikut mati bersama Jonathan.
Dan mungkin juga ibunya yang kini tengah sekarat.
"Pergi, Sam!" teriaknya di antara derap langkah Sam menaiki anak tangga serta isakan dari wanita itu.
"Jangan bergerak, Pete! Diam di sana!"
Teriakan Sam menggema. Penuh dengan ketakutan yang membuat Peter semakin merasa tidak pantas untuk hidup.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang anak dari orang yang ia bunuh kini menangisi kepergiannya? Bagaimana ia bisa merasa pantas menerima cinta dari anak korban pertamanya?
"Fuck!" Tempat sempit yang ia jadikan tumpuan bagi tumitnya itu rapuh. Tumit kanannya itu tergelincir hingga dirinya kini hanya bisa bersandar pada tumit kiri dan teralis saja.
"Peter, hentikan!" Sam tiba di belakang Peter.
"Berhenti di sana!"
Langkah Sam terhenti sesaat setelah mendapat bentakan dari Peter. Gadis itu menangis. Jika saja Peter melepaskan pegangannya pada teralis, pria itu akan jatuh dan menghantam puing-puing di bawah.
"Pete," cicit Sam. Berharap Peter akan mengurungkan niatnya dan kembali padanya.
"Pergi lah. Aku tidak pantas hidup lagi. Aku akan selamanya merasa bersalah akan kematian orang tuamu jika aku hidup."
"Cukup, Peter. Lupakan itu, kita bisa bicarakan ini baik-baik."
"Tidak bisa, Sam. Aku tidak mau hidup dalam perasaan bersalah seperti ini. Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa." Peter mengutip apa yang Zeke katakan usai membuat Jonathan terbakar.
Dan benar, seharusnya ia mati atas dasar itu.
Sam mengusap wajahnya yang terasa kebas. Sekali lagi ia melangkah, mendekati Peter yang masih membelakanginya.
"Jika kau mendekat, aku akan benar-benar melompat," ancam Peter yang tentu saja mendengar suara langkah Sam.
"Lalu bagaimana denganku? Kau tidak memikirkanku? Bagaimana aku bisa hidup tanpamu?"
Pertanyaan yang sarat akan keputusasaan dan amarah itu membuat Peter cukup terkejut. Dadanya terasa semakin sakit. Bahkan sakitnya berkali-kali lipat dibandingkan saat ia kehabisan napas dalam cekikan Jonathan.
"Kau bukan lagi Bryan. Kau Peter. Kau Peter Landon dan aku mencintaimu."
Ungkapan tulus itu membuat Peter semakin menangis dalam diam. Bagaimana bisa orang sejahat dirinya mendapatkan cinta yang begitu besar? Bagaimana bisa ada orang yang mengharapkan dirinya hidup di saat ia pernah memutus hidup orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
LITTLE CLICHÉ - Jung Jaehyun
Fanfiction(Finished) - Bahasa Baku Saskatchewan, 1969. Dendam Scott begitu besar kala itu. Membunuh tanpa pandang bulu adalah salah satu rutinitasnya. Saskatchewan, 1981. Tanpa pernah sadar, dendam itu justru menumbuhkan dendam-dendam baru; layaknya bumeran...