15 (revisi)

1.9K 281 18
                                    

Dingin malam itu menusuk hingga ke tulang Bina. Keram pada perut yang sedari tadi ditahannya bertambah parah. Dalam cahaya remang lampu tidur, Bina berusaha membalikkan badan untuk membangunkan Jiwoong yang mungkin saja baru memejamkan mata beberapa jam yang lalu.

Namun apalah daya, menopang tubuh dengan tangan saja ia tidak sanggup. Apalagi membalikkan badan.

Jiwoong yang tidurnya terusik membuka mata perlahan. Matanya yang berat menangkap bahu Bina bergetar. Samar-samar kemudian ia dengar isakan kecil dari Bina.

"Sayang??" Jiwoong dengan sigap menarik diri agar lebih dekat dengan Bina yang memunggunginya. Buku-buku jari Bina yang mencengkram ujung tempat tidur memutih. Sedangkan sebelah tangannya yang lain memegangi perut bawahnya yang terasa sakit luar biasa.

"Gak bisa." Bina meringis saat Jiwoong berusaha membantunya untuk duduk.

"Bisa sayang, pelan-pelan."

Bina mengangguk, Jiwoong pun dengan sabar membantu Bina duduk di antara kedua kakinya. Punggung Bina berhasil bersandar pada dada suaminya setelah susah payah mencari posisi yang nyaman.

Jiwoong memandangi Bina yang terpejam menahan sakit pada perutnya. Peluh yang membasahi kening dan leher Bina telah Jiwoong hapus dengan tangannya. Tangan kiri Jiwoong menggenggam erat tangan Bina untuk berbagi rasa sakit. Sedangkan tangan kanannya mengelus perut buncit Bina sambil berharap sakit itu segera hilang agar istrinya dapat segera beristirahat.

"Mau minum??" Bina mengangguk sebagai balasan karena tidak kuat bersuara. Bibirnya pun sudah terasa kering sedari tadi. Jiwoong lalu meraih gelas berisi air putih yang ada di atas nakas dan membantu Bina untuk minum.

Jiwoong tetap terlihat tenang hanya demi Bina.

Napas Bina sudah lebih normal. Perutnya tidak lagi sesakit tadi. Sebelah tangannya yang kosong Bina letak di atas punggung tangan Jiwoong yang masih setia mengelus perutnya.

"Mau dihidupin lampu?" Bina yang sudah membuka mata menengadah, memandang Jiwoong yang bertanya kepadanya. Ia kemudian menggeleng pelan yang setelahnya mendapat kecupan ringan di bibir oleh Jiwoong.

"Kak Jiwoong." Bina memanggil dengan suaranya yang pelan. Jiwoong mengecup pelipis Bina memberi tahu bahwa ia siap mendengarkan.

"Kamu percaya kan sama aku?"

Debaran jantung Jiwoong penuh oleh ketakutan. Bina paham betul akan hal itu. Sekuat apapun ia mencoba untuk acuh, tidak akan mengubah fakta apapun.

"Iya." Jiwoong tercekat. Pelukannya pada Bina semakin mengerat. Diam-diam air matanya menetes.

Bina tidak sekuat itu, dan Jiwoong tahu betul wanita itu tidak akan bertahan lama.

__________________

Paginya Jiwoong bangun lebih dahulu. Ia dengan pelan memindahkan Bina yang menindih tangannya, menggantikan alas tidur Bina dengan bantal.

Jiwoong mematikan ac dan membenarkan letak selimut Bina agar tidak kedinginan. Jendela kamar ia buka agar udara subuh yang segar masuk kedalam. Ia mematikan seluruh lampu yang ada di kamar itu, lalu mencium perut Bina yang tertutup oleh selimut sebelum keluar dari kamar.

Jiwoong hendak menuju dapur, namun matanya tidak sengaja menangkap Yujin yang tertidur di bawah karpet yang ad di ruang tengah. Jiwoong mendekati Yujin, ia duduk di dekat anaknya yang menggulung diri dengan selimut itu. Ia pun baru sadar kalau Yujin mengigau dalam tidurnya.

"Yujin??" Jiwoong menepuk bahu Yujin pelan membuat yang ditepuk bangun dengan terkejut. Ia segera mendudukkan diri lalu memandang pada sekitar seperti orang linglung.

"Kenapa tidur di sini??" tanya Jiwoong pada Yujin yang kini tampak sudah sadar.

"Eh itu, gak sengaja ketiduran."

Tidak. Yujin berbohong. Ia sengaja tidur di sana karena terbangun oleh mimpi buruk. Dalam satu malam itu ia terbangun empat kali oleh mimpi buruknya. Yang ke empat kalinya membuat Yujin memutuskan meninggalkan kamarnya malam itu. Dan ruang tengah adalah satu-satunya pilihan karena di sana lampunya lebih terang daripada di kamar.

"Kamu bisa batalin acara keluar hari ini gak??"

"Jangan dong pa. Yujin udah janji dari jauh-jauh hari."

"Tapi nanti mama jadi sendirian di rumah."

"Bentar doang kok. gak sampai tiga jam."

Jiwoong tampak berfikir sejenak. Ia lalu mengacak rambut Yujin yang memang sudah tidak berbentuk lalu berdiri dari duduk.

"Kalau mau lanjut tidur pindah ke kamar." Jiwoong melanjutkan niat awalnya untuk pergi ke dapur.

Yujin melihat jam yang ada di atas tv. Masih terlalu pagi untuk memulai aktifitas. Ia memeluk bantalnya dan menyeret selimut yang ia pakai menaiki tangga menuju kamar.

Bukan kamar miliknya, tetapi kamar milik Jiwoong dan Bina.

Yujin membuka pintu pelan, matanya menemukan Bina yang berusaha untuk duduk. Dengan cepat ia menghampiri Bina, meletakkan bantal dan selimut yang ia bawa secara asal dilantai dekat kasur.

"Ada apa kak??" tanya Bina begitu ia berhasil duduk dibantu Yujin.

Yujin menggeleng. Memungut bantal dan selimutnya kembali lalu merangkak menaiki ranjang. Ia menarik selimut menutupi dirinya, lalu berbaring dengan menghunakan kaki Bina sebagai guling. Yujin mencari posisi nyaman, ia lalu memejamkan mata sambil memegang perut mamanya dengan satu tangan.

Jujur saja Yujin memang ketagihan memegang perut buncit mamanya itu.

"Nanti jadi keluar??" Yujin sudah setengah sadar saat Bina bertanya. Ia hanya mengangguk pelan. Matanya semakin mengantuk karena tepukan halus Bina pada bahunya.

"Hati-hati ya kak. Akhir-akhir ini mama sering liat berita banyak yang kecelakaan di jalan." Yujin kembali mengangguk dan setelahnya ia benar-benar tertidur.

Yujin's Mom [SELESAI] | Kim Jiwoong, Han YujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang