13

1.9K 324 15
                                    

"Kak, ambil kotak p3k." Jiwoong berbicara kepada Yujin namun tidak mendapat balasan. Yang diajak berbicara tidak dapat fokus pada apapun. Jiwoong memandang anaknya sambil menggulung kedua lengan kemejanya hingga sebatas siku.

"Yujin. Ambil kotak p3k di laci dapur." Ia mengulang perkataannya. Untungnya kali ini Yujin sadar kalau dipanggil dan segera berlari keluar kamar untuk mengambil barang yang disuruh oleh papanya.

Jiwoong membenarkan posisi tidur Bina agar terlentang. Ia lalu duduk disisi ranjang bersamaan dengan kembalinya Yujin. Jiwoong memerintahkan Yujin untuk tetap diam disana.

Ia lalu menyentuh wajah dan kening Bina. Suhunya bertolak belakang dengan telapak tangan serta telapak kaki Bina.

Jiwoong mengambil kotak tersebut dari tangan Yujin dan mengambil alat dari sana untuk mengecek suhu tubuh Bina. Ia kembali menyuruh Yujin, kali ini untuk memijat kaki Bina. Yujin dengan seragam sekolahnya menaiki ranjang dan segera melakukan perintah Jiwoong.

Jiwoong menumpu sebelah tangannya disamping bahu Bina. Tangannya yang lain mengelus kepala Bina serta keningnya yang basah oleh keringat. Dari jarak dekat ia terus menerus memanggil nama Bina. Satu menit pertama Bina masih diam tanpa menjawab.

Sedangkan Yujin terus memijat kaki dan tangan Bina secara bergantian masih dengan air matanya yang tidak berhenti keluar.

Jiwoong memgambil ponselnya, menelpon rumah sakit agar segera mengirimkan ambulance. Setelah mematikan sambungan telepon Jiwoong memandang Yujin yang belum kunjung berhenti menangis.

"Udah kak. Mama gak kenapa-napa kok." Jiwoong membantu Yujin mengelap air matanya dan mencoba menenangkan Yujin.

Ia kembali pada Bina, dan menghela nafas ketika melihat suhu yang ditunjukkan alat tadi benar-benar tinggi. Ini bukan pertama kalinya bagi mereka menghadapi Bina yang kehilangan kesadaran karena demam tinggi.

"Bina..." Jiwoong masih berusaha terus memanggil Bina sambil mengelus wajahnya lembut. Ia mengambil sebelah tangan Bina dan menempelkan telapak tangan Bina di pipinya. "Mama bisa dengar suara papa?? kalau dengar gerakin jarinya. Dikit aja yang penting papa tahu."

Jiwoong menciumi jari-jari tangan Bina yang bergerak setelah lama ditunggu. Ia menegakkan badannya kembali saat suara ambulance berhenti di depan rumah mereka.

Bina dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulance. Sedangkan Jiwoong dan Yujin menyusul di belakang menggunakan mobil pribadi.

Didalam mobil tidak ada yang bersuara. Keduanya sama-sama diam. Yujin sudah lebih tenang walau sesekali ia terlihat menyeka air matanya. Tanpa melihat kearah Jiwoong ia mengajak papanya berbicara terlebih dahulu.

"Semalem kenapa papa gak pulang??"

Jiwoong melirik Yujin sekilas lalu kembali fokus pada jalanan.

"Papa pulang kok kak. "

"Biasanya papa berangkat kerja jam delapan. terus kenapa tadi papa gak di rumah??"

"Papa pulang jam setengah satu. Tadi pagi berangkat jam setengah enam karena ada kerjaan mendesak."

Yujin tidak lagi bertanya. Ia hanya diam dan fokus memandang ke depan. Mobil mereka berhenti saat lampu merah. Jiwoong kembali pada ponselnya dan dengan gerakan cepat menelpon wali kelas Yujin untuk meminta izin Yujin tidak masuk sekolah.

Jiwoong menyimpan kembali ponselnya ketika selesai. Tidak lama kemudian lampu merah pun berubah menjadi hijau. Jiwoong kembali menjalankan mobilnya.

Jiwoong memandang Yujin sebentar untuk kesekian kalinya. Jarak ke rumah sakit sudah sangat dekat.

"Kakak." yang dipanggil menoleh. Menunggu jawaban dari papanya yang fokus kejalan di depan.

"Mama hamil loh kak." ujar Jiwoong yang berhasil membuat Yujin melebarkan kedua matanya.

Yujin awalnya bahagia dengan perkataan Jiwoong. Namun tidak lagi begitu papanya kembali bersuara. "Tapi kata dokter, adeknya harus kita keluarin dari perut mama sebelum telat."

Yujin memilih untuk hanya mendengarkan papanya yang bercerita dengan suara bergetar. "Mereka bilang Mama itu sebenernya gak kuat kalau harus hamil."

Di dalam ingatan Yujin, ini kali pertama ia melihat papanya menangis.

"Papa berantem kak, sama mama. Papa bilang kalau anak papa itu kakak aja udah cukup. Mama bilang dia juga udah cukup sama kakak."

"Tapi mama nolak perkataan dokter. Karena Mama, Papa, dan Kakak sama-sama nungguin adek hadir di keluarga kita."





















dah 4 kali baca masih nangis anjir.

next chapter 70 vote
©jiwoongitis

Yujin's Mom [SELESAI] | Kim Jiwoong, Han YujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang