"Rean, bisa pelanin motornya 'kan, ini masih pagi buta?!!" Mentari berteriak mengalahkan bisingnya jalanan raya sembari mengeratkan pegangannya pada perut Rean yang tengah mengendarai motornya.
Rean tersenyum smirk tidak menghiraukan ucapan Mentari. Kedua matanya memicing fokus membelah jalanan yang nampak lebih sepi dari pagi biasanya. Lantas dia mengerem motornya secara mendadak menyebabkan benturan helm yang dipakainya dengan helm yang dipakai Mentari pun terjadi.
Mentari mengaduh merasakan pening di kepalanya. Perlahan tapi pasti emosinya terkumpul. "Lo bawa motor kayak orang kesetanan! Bahaya tau!"
"Kalo lo gak suka, turun!" dalih Rean tanpa menoleh menatap Mentari dibelakangnya.
"Tap—" Lantas Mentari berteriak tidak sempat melanjutkan ucapannya karena Rean kembali menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi tanpa memberitahukannya. Untung saja ia tidak melepaskan pegangannya pada perut Rean.
———
Mentari merasakan pening di kepalanya. Ia terdiam sejenak, rasanya sulit sekali untuk membuka helmnya.
Namun, tiba-tiba tangan Rean bergerak membuka helm yang menutupi kepala Mentari. "Gak usah baper!"
Mentari hanya mendengus kesal.
"Jaga konflik! Amankan orang-orang belum pada dateng?" Rean mulai melangkah pergi meninggalkan parkiran sekolah yang masih terlihat sepi.
"Gak waras lo! Gue belum sarapan!" sungut Mentari yang sudah dibuat geram. "Tau gini gue gak bakalan pernah suka sama lo!"
Entah Rean mendengarnya atau tidak, Mentari tidak perduli itu. Tetapi ia berpikir bahwa Rean mendengarnya karena masih berada di kawasan yang sama.
————
"Nih sarapan buat lo."Mentari tentu saja dibuat terkejut dengan kehadiran Rean yang tiba-tiba. Dia juga menyimpan sebuah kotak makan di atas mejanya.
"Makan!" Lantas Rean bergegas pergi begitu saja keluar dari ruangan kelas Mentari.
Dan perlakuan itu dilihat jelas oleh Raya dan Elza yang baru saja datang. Setelah akhirnya Rean keluar dari ruangan kelas Raya dan Elza dengan segera menghampiri Mentari yang berada di bangkunya.
"Jelasin!" pinta Raya dan Elza secara bersamaan. Mereka seperti hendak mengintrogasi.
Mentari membenarkan posisi duduknya, menatap kedua temannya seksama. "Gue tinggal sama mokapnya."
"What?!" Raya dan Elza memekik secara bersamaan.
"Mokapnya temen mokap gue. Karena gue males ikut pindah ke London, jadi gue dititipin di sana, dan pindah sekolah juga biar ada yang jagain." Lantas Mentari meraih kotak yang Rean berikan.
"Gak bahaya tuh?" Raya mendudukkan bokongnya di atas kursinya dan menghadap ke arah Mentari. "Dan kalo lo suka gimana?"
Mentari terdiam sejenak. "Nggak sih, dia 'kan jarang ada di rumah, tinggal sama neneknya. Dan ..., pernah sih gue suka sama dia."
"Kapan?" Elza yang sudah berada di kursinya menyahuti.
"Kalian udah saling kenal?" timpal Raya kemudian.
Sembari membuka kotak yang Rean berikan Mentari menganggukkan kepalanya. "Dia kakak kelas gue waktu SMP, tapi gak lama. Gue keburu pindah waktu kelas delapan. Gue awalnya cuman kagum, tapi lama-lama terus kepikiran." Lantas ia mengambil sepotong sandwich, isi dari kotak makan itu. Sembari menatap satu persatu kedua temannya ia kembali berujar, "Sampai gue pacaran sama orang lain pun gue terus berharap bisa ketemu lagi sama dia. Tapi, menurut gue sendiri, gue nggak suka beneran, gue cuman penasaran aja, karena cuman dia cowok yang gak mau sama gue. Dan sekarang gue gak penasaran lagi sama dia, apalagi suka sama dia!"
"Why?" Jiwa kepo Raya mulai meronta-ronta.
"Dia tuh rese! Nyebelin!" ungkap Mentari kesal mengingat kelakuan Rean yang jauh dari kata baik. Berbeda dengan dirinya yang dulu, walaupun Rean mengacuhkannya tidak ada rasa sekesal ini.
Lantas Raya membulatkan matanya. "Lo pasti bakalan cinta sama dia! Gimanapun juga lo pernah suka, 'kan?!"
Mentari merotasikan bola matanya jengah. "Nggaklah, namanya juga cinta monyet!" Lantas ia menyuapkan sandwich yang sedari tadi digenggamnya.
————
Mentari memutar bola matanya jengah setelah mengetahui pengirim pesan nomor tak dikenal itu Vina. Gadis itu menyuruhnya untuk segera datang ke taman belakang sekolah setelah jam istirahat pertama tiba.
"Ternyata lo yang minta gue ke sini, ada masalah apa?" Mentari menatap Vina seksama yang berdiri di hadapannya.
"Kita perlu bicara!" sahut Vina, ketus.
Mentari menghela napas panjang. "To the point aja."
"Tadi pagi kak Rean ngasih lo sarapan, kemarin berangkat bareng. Lo perlu tau, apapun yang berkaitan sama kak Rean anak-anak pasti tau!" Vina menghembuskan napas kasar. "Netizens sekolah itu mulutnya gak bisa dijaga!"
Mentari bersidekap dada. "Terus?"
"Jadi bisa 'kan lo jaga jarak?!" sahut Vina final!
Mentari tertawa hambar. "Atas dasar apa?"
Lantas Vina menyodorkan tangannya berniat untuk berjabat tangan dengan Mentari. "Kenalin, gue pacarnya."
Mentari hanya ber-oh ria yang kemudian tersenyum smirk sembari menerima jabatan tangan Vina. "Kenalin—" Ia menatap tajam netra hitam pekat milik Vina, "gue temen serumahnya!"
Mendengar itu Vina pun terdiam sejenak, lantas dengan cepat melepaskan jabatan tangannya dengan kasar.
"Lo baru tau?!" Mentari dibuat pura-pura terkejut. "Ups!" Lantas ia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya dengan matanya yang terbelalak. "Gue udah buka rahasia kak Rean, gimana dong?! Lo beneran gak tau 'kan, Vin?"
Vina mengepalkan kedua tangannya berusaha menahan amarahnya. Jika ia bukan gadis lugu seperti yang dikatakan banyak orang mungkin saja sudah menyerang Mentari. Tentang Rean yang tinggal bersama dengan Mentari— itu tidak sedikitpun Rean menceritakannya. Hal itu membuatnya takut. Takut jika saja Rean akan mencampakkannya suatu saat nanti. Takut dengan apa yang orang-orang katakan itu benar bahwa Rean menjadikannya pacar hanya karena merasa kasihan. Juga karena melampiaskan kekesalannya pada Adeline.
"Why?!"
Vina tidak menanggapinya, ia segera melenggang pergi begitu saja.
"Kapan-kapan mampir ke tempat gue!" seru Mentari yang kemudian terkekeh.
Dan tanpa mereka sadari Adeline mendengar semua percakapan mereka dibalik tembok dekat taman itu.
—————
Rean yang menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi tiba-tiba berhenti secara mendadak membuat motor itu terguling begitu saja. Bukan tanpa alasan Rean mengerem motornya secara mendadak. Itu karena tidak ingin menabrak seekor kucing yang tengah menyebrangi jalan.
Mentari dengan satu kakinya yang tertimpa motor hanya bisa mengaduh kesakitan.
Lantas Rean yang berhasil mengangkat motor yang juga menimpa satu kakinya berjongkok mendekati Mentari. "Lo gak pa pa?!"
"Menurut lo?!" Mentari benar-benar dibuat kesal dengan yang terjadi barusan. "Kan gue bilang hati-hati!"
Rean berdecak. "Namanya juga kecelakaan!"
"Ya kalo lo hati-hati bawa motornya gak bakalan kayak gini! Mendingan gue pulang sendiri aja, daripada harus mati bareng lo!"
Rean mulai dibuat kesal. Dia berdiri sembari menyugar rambutnya. "Kerjaan cewek selain ngomel-ngomel apa?"
"Bantuin gue berdiri!" Mentari yang terduduk di atas aspal menengadahkan kepalanya menatap Rean.
Sontak Rean menaikkan kedua alisnya. "Lo minta tolong sama gue?"
Mentari memberengut kesal. Ia berusaha untuk bisa berdiri dengan kakinya yang terasa sakit. Mungkin saja kakinya yang dibaluti sepatu dan kaus kaki itu memar.
Lantas Rean mengulurkan tangannya berniat membantu Mentari berdiri. Dan tanpa membuang waktu Mentari menerimanya dan segera berdiri. Sejenak mereka berkontak mata sebelum akhirnya saling membuang muka.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Roman pour Adolescents"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...