Disepanjang perjalanan hanya kesunyian yang menyelimuti. Deru mesin taxi yang ditumpanginya berdengung jelas di pendengaran. Kini, Mentari dan Rean saling menatap setelah taxi yang ditumpangi benar-benar terhenti tepat di pelataran sebuah rumah besar bertema klasik modern.
Tanpa membuang waktu Mentari lantas menyodorkan uang pada supir taxi dan bergegas keluar dari taxi.
"Tunggu!" Rean yang masih berada di dalam taxi memasang wajah memelas.
Mentari melongok dengan matanya yang sedikit memicing. "Apa?!"
"Bantuin gue keluar."
Mentari menarik kurva tipis ke atas sebelum akhirnya menuruti apa yang Rean minta.
Beberapa kali hampir terhuyung karena tubuh mungilnya harus menopang tubuh jangkung Rean. Dan pastinya berat badannya lebih besar dari Mentari.
"Kebanyakan dosa!" Mentari bergumam pelan.
"Gue denger."
"Ya bagus— aw!" Mentari tersandung tangga kecil menuju rumah membuatnya hampir terjungkal.
"Kalo gue jatuh gimana?!" Rean dengan spontanitas menegakkan tubuhnya, tapi masih dengan satu tangannya yang melingkar di leher Mentari. "Pendek!"
Dengan matanya yang menyiratkan kekesalan Mentari pun membanting tubuh Rean sehingga tersungkur di atas lantai. "Udah di tolongin juga!"
Rean seraya berusaha berdiri mengerang karena sikutnya yang terluka membentur lantai. "Sialan!"
"Lo itu emang manusia teraneh di dunia!"
"Anehnya apa!?" sergah Rean dengan memegangi satu tangannya.
Ngerti bagaimana caranya bahagia, tapi gak ngerti caranya memahami
"Kenapa?!" Tanya Rean sewot karena melihat Mentari yang hanya terbengong menatapnya— entahlah. Tatapan yang sulit diartikan. "Terpesona?" lanjut Rean dan berakhir menyeringai.
"Najis!" Lantas Mentari bergegas pergi. Beberapa kali bergidik ngeri mengingat perasaanya pada Rean begitu abstrak. Takut, Mentari takut benar-benar jatuh cinta.
"Lo gak kasian sama gue?" Rean yang ternyata membuntuti Mentari berujar membuat langkah Mentari seketika terhenti. "Seenggaknya lo tolong obati sikut gue, bibir gue."
Mentari mengehela napas panjang sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya menatap Rean. "Harus banget ya?"
Hening sesaat menyapa keduanya. Living room yang sunyi itu benar-benar mendukung adegan ini nampak mati. Mereka berkontak mata, membaca pikiran masing-masing lewat kornea bening yang tak berkedip. Ada sesuatu dibalik kornea itu. Ada ucapan yang sulit untuk dikatakan.
Detik kemudian Mentari terkesiap disaat tiba-tiba ingatannya terlintas sebuah kata 'Erotomania'. Tidak perlu ditanyakan kepada psikiater, penyakit itu jelas berbahaya.
"Gue cuman minta lo obati luka gue." Rean berujar pelan dengan suaranya yang lebih serak dari biasanya.
"Oke!" sahut Mentari lantang. "Anda silahkan duduk manis, Tuan." Mentari menunjuk sebuah sofa panjang dengan tubuhnya yang sedikit membungkuk.
Rean terkekeh dengan kedua matanya yang semakin menyipit. Dia mulai melangkah mendekati sofa yang akan didudukinya.
Mentari Hadley Wirawan, dia benar-benar ada di sampingnya. Tidak semu dan bisa dirasakan kehadirannya dengan jelas. Belum ada yang berubah di mata Rean. Dia masih Mentari yang merepotkan. Mentari dengan keceriaannya. Mentari dengan keras kepalanya— mungkin.
Senyuman tipis terbingkai jelas di bibir Rean disaat mengingat Mentari di masa SMP yang memaksanya untuk datang ke rumahnya,
"Sekali ini aja, Kak Langit! Please, jangan tolak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Novela Juvenil"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...