Beberapa kali Mentari mengerjap mendapati Rean yang tengah terbaring di sofa masih dengan mengenakan piyama tidur.
Itu ... bayangannya?
Pasalnya Rean belum siap untuk berangkat ke sekolah. Wajahnya terlihat pucat dengan kedua matanya yang tertutup rapat.
Apa semalam dia tidur di sofa?
Mentari menghela napas panjang. Itu benar-benar Rean bukan bayangannya. Ia tidak seharusnya peduli pada laki-laki itu mengingat kejadian saat di rumah sakit kemarin. Mentari melangkah hendak melewati sofa yang Rean tempati. Langkahnya terhenti menyadari bibir Rean yang pucat sedikit bergetar dengan napasnya yang tidak beraturan.
"Kak," ucap Mentari pelan. Tidak mendapati jawaban lantas Mentari mendekat, ikut duduk di sofa. "Kak."
Tersirat rasa khawatir setelah merasakan hawa panas saat duduk di dekat laki-laki itu. Hembusan napas yang tidak beraturan itu terlihat sesak. Perlahan tangannya menyentuh kening Rean, mencari tau suhu tubuhnya.
"Panas." Mentari berujar lirih masih dengan tangannya yang menempel di kening Rean. Ia menatap wajah Rean seksama. Wajah Rean yang biasanya segar sekarang terlihat tidak bertenaga. Seperti daun yang subur menjadi kering kekurangan air.
"Sakit." Rean berucap lirih seraya membuka kedua matanya membuat Mentari tergelonjak.
Mentari beranjak dari duduknya dan hendak pergi. Namun, Rean menahan tangannya. Mentari bisa merasakan hawa panas dalam genggaman tangan Rean yang terasa tidak bertenaga.
"Mama ke mana?" tanya Rean dengan suaranya yang terdengar purau.
Alih-alih menjawab Mentari malah bergeming.
"Mama ke mana?" tanya Rean sekali lagi.
"Um—" Mentari yang membelakangi Rean membalikkan tubuhnya menghadap Rean. "Gak tau. Gue baru keluar dari kamar."
Perlahan tangan Rean yang menggenggam tangan Mentari terlepas. "Kasih tau temen-temen gue kalo hari ini gak masuk." Rean kembali menutup kedua matanya. "Ponsel gue mati."
Mentari mengangguk lantas melangkah pergi. Hati kecilnya menyuruhnya untuk menemani Rean lebih lama lagi. Tetapi Mentari lebih memilih untuk tidak peduli.
Palingan dia masuk angin!
Setelah berada di dapur Mentari mengedarkan pandangannya mencari sosok bik Susi. Sampai akhirnya ia menemukannya tengah sibuk membersihkan meja pantry.
"Sarapannya udah siap, Non, di meja makan," jelas bik Susi setelah melihat kehadiran Mentari.
"Um ... bukan, Bik."
"Ada yang bisa bik Sus bantu?" Bik Susi melangkah mendekati Mentari.
"Itu, kak Rean kayaknya masuk angin deh."
"Den Rean?" Bik Susi lantas berubah dengan wajahnya yang khawatir. "Den Rean ada di rumah?"
Mentari hanya mengangguk menanggapinya.
"Non sarapan aja, biar Bik Sus yang ngurus den Rean. Nyonya udah pergi dari tadi pagi." Tidak membuang waktu lantas bik Susi melenggang pergi begitu saja membuat Mentari keheranan.
Namun, detik kemudian ia menghembuskan napasnya kasar seraya terkekeh pelan setelah tersirat dalam benaknya bahwa Rean anak yang manja. Mungkin saat jatuh dari kasur pun langsung dibawa ke rumah sakit. Mengingat tante Agni seorang ibu yang overprotektif walaupun ditengah kesibukannya pasti akan menugaskan bik Susi untuk siaga merawat Rean.
"Anak manja! Kalo hidupnya sulit pasti udah sekarat."
——————
"Kalo menurut gue sih, si Rean udah suka beneran sama si Vina. Karena dari kebersamaan menjadi sebuah cinta yang tak terkalahkan!" ujar Niko percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Teen Fiction"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...