Harusnya chapter ini udah up sekitar tiga minggu yang lalu, tapi, tulisannya hilang gak tahu ke mana 🙂. Males buat nulis yang baru, jadi dah lama gak up. Tulisannya gak seratus persen mirip sama chapter yang hilang. Kit heart🙂
One...
Two...
Three...
Langit tak lagi berwarna. Tampias sinar matahari hanya menyisihkan secercah cahaya. Siang yang akan berakhir ditemani lagu-lagu galau dari barat yang bersenandung memenuhi ruangan keluarga. Mentari seorang diri mengisi ruangan sepi itu. Di atas sofa ia membiarkan tubuhnya terkulai. Saat kedua matanya hendak sepenuhnya tertutup, bayangan itu menghalanginya.
"Kok lo di sini?" Mentari sontak beranjak dari sofa.
"Ini rumah gue." Laki-laki itu, Rean, tersenyum culas.
Mentari sejenak terdiam mengingat-ingat kapan terakhir kali bertemu dengan laki-laki yang berhadapan dengannya itu. "Kita ketemu tiga hari yang lalu, kan?" ucapnya.
Laki-laki itu mengangguk singkat. "Gue waktu di sekolah gak sempet ngomong sama lo."
"Lo sih lama."
"Iya."
"Kenapa?"
"Gak pa-pa."
Mentari menggaruk tengkuknya merasakan momen akward. "Mungkin lo mau kasih tahu gue kalo lo mau tunangan." Lantas ia tersenyum cukup manis. Senyuman yang memang membohongi perasaannya.
Musik yang terputar dari radio terhenti dengan sendirinya membuat ruangan tampak mati dengan dua insan yang saling terdiam.
"Lo kenapa menghilang dari rumah ini?" Mentari memberanikan diri untuk berkata demikian. Ini hanya demi menghapus rasa penasarannya akan perasaan yang laki-laki itu miliki untuknya. Entah laki-laki itu menghilang di sisinya karena menghindari. Entah laki-laki itu memang memiliki alasan kuat meninggalkan rumah. Entah laki-laki itu menghilang sejenak untuk merenungkan kembali apa yang dipilihnya. "Di sekolah, gue gak pernah liat lo selain di aula. Apa ini ada hubungannya sama gue?"
Rean terkekeh. "Hubungan apa, Tar?"
"Vina cemburu?" Mentari mengangkat kedua alisnya. "Atau lo tahu gue lagi sedih?"
"Lo ..., " Rean terdiam sejenak, "Kenapa sedih?"
"Karena akhirnya gue tahu, kalo lo beneran tulus sama Vina." Mentari tersenyum getir dengan perasaannya yang tak karuan. Dalam keterdiamannya saat ini ia berharap laki-laki itu memeluknya erat untuk terkahir kalinya. Hanya hari ini saja. "Untuk yang terakhir kalinya, gue bilang sama lo, kalo gue suka sama lo, Langit Bintang Andrean."
Rean merasakan waktu berhenti saat ini. Kenangan-kenangan kecil yang telah dilaluinya dengan perempuan di hadapannya itu perlahan berputar di benaknya. Dari hari ke hari kedekatannya bersama gadis itu meningkat. Sampai akhirnya dirinya pergi tanpa penjelasan.
"Sadar gak, kalo lo udah hancurin benteng pendirian gue buat gak terlibat sama yang namanya cinta?" Mentari menatap lekat manik mata Rean dengan kakinya yang terasa lemas maju selangkah. "Apa lo gak ngerasain apa yang gue rasakan?"
Rean merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat. Mata yang tampak sayu yang ditatapnya sepenuhnya memancarkan kekecewaan. Andai dia tidak datang secara terlambat, itu yang ingin Rean katakan untuk Mentari. Menurutnya waktu bukanlah tentang terjawabnya atas sebuah pertanyaan, tapi waktu adalah tentang berubahnya garis takdir. Terlambat. Kata itu memang benar adanya dan mengandung arti kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Fiksi Remaja"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...