Deburan ombak yang sempat Mentari saksikan langsung dari beberapa menit lalu kini Mentari kembali merasakannya. Walaupun ia hanya mendengar deburan ombak saja tidak dengan menyaksikan air yang selalu tampak tenang itu menjadi ganas di lautan. Anehnya Mentari tidak berada di lautan melainkan di dalam taksi dengan dikelilingi bangunan-bangunan kota. Lampu merah yang patut disalahkan sebagai pemicu munculnya masalah ini. Jika lampu merah itu tidak terjadi, Mentari tidak akan mendengar deburan ombak yang membekas dalam ingatannya. Tidak akan melihat sepasang kekasih yang tengah asik berbincang di luar Indomaret. Berkali-kali sang lelaki mengacak rambut sang gadis. Sampai di momen yang pernah Mentari rasakan sekarang diperankan oleh gadis itu. Momen di mana sang lelaki memasangkan helm pada gadisnya. Mungkin, gadis itu terlebih dulu merasakannya. Namun, Mentari seharusnya tidak sempat merasakan apa yang gadis itu rasakan. Terkahir laki-laki itu memasangkan sebuah jaket kulit pada sang gadis dengan begitu cekatan.
"Kenapa lo hubungi gue kalo lo lagi sama dia!?" Mentari menggertakkan giginya merasa kesal dengan pandangan gamang menatap sepasang kekasih itu yang kini sudah berada di atas motor.
Mentari dibuat paham dengan eksistensi hidup dalam kubangan asmaraloka. Jika saat tadi di pantai Mentari menangisi kebodohannya, maka sekarang Mentari mengutuk kebodohannya.
Untuk lebih meyakinkan sakit hatinya tidak akan terjadi Mentari memilih memasangkan sepasang earphone menyumpal telinganya. Sialnya di saat-saat suasana sedang tidak baik-baik saja lagu yang didengarkannya malah memperburuk keadaan. Lagu 'Pura-Pura Lupa dari Mahen' menjadi begitu sensitif didengar untuk saat ini.
Jangan datang lagi cinta
Bagaimana aku bisa lupa
Padahal kau tahu keadaannya
Kau bukanlah untukkuJangan lagi rindu cinta
Ku tak mau ada yang terluka
Bahagiakan dia aku tak apa
Biar aku yang pura-pura... lupa"Sial!" Mentari mengumpat bersamaan dengan melepaskan sepasang earphone di telinganya. Mentari tidak ingin galau, tapi lagu itu mengajaknya untuk galau. Membuat hatinya menjadi gundah-gulana.
Siapa sangka setelah melepaskan sepasang earphone keadaan Mentari akan lebih baik. Naas yang menimpanya berkali-kali berharap ini yang terkahir. Mengapa naasnya motor yang Rean kendarai malah berjalan beriringan dengan taksi yang Mentari tumpangi?
"Pak, tolong tambah kecepatan."
"Maaf, Non, gak bisa. Di depan banyak kendaraan lain. Sedikit macet." Ucapan seorang supir taksi itu membuat Mentari ingin melipat bumi sekarang juga. Bahkan jika melipat bumi tidak bisa Mentari lakukan, Mentari rela berpindah ke planet lain. Pasalnya sepasang kekasih itu tampak serasi berada di atas motor sport bike hitam kesayangan Rean. Gadis itu yang tak lain Vina-melingkarkan tangannya pada perut Rean.
"Gue cemburu. Gue beneran cemburu!" Mentari dibuat frustasi dengan jalan cerita yang terjadi padanya.
Menyandarkan punggungnya dengan mata tertutup rapat sepertinya lebih baik. Namun, terpaan angin yang berhembus kencang membuat Mentari seketika membuka matanya. Terkejut bukan main yang Mentari rasakan setelah bertatapan dengan mata elang dari balik helm yang sengaja kacanya tidak ditutup. Itu terjadi karena tangannya berulah tidak sengaja membuka jendela mobil.
Sial banget sih hari ini!
Tidak ada momen mengingat kenangan saat bertatapan dengan sepasang mata elang yang terjadi beberapa detik itu. Yang Mentari rasakan hanyalah 'malu'. Walaupun kaca jendela sudah ditutup kembali, tetap saja laki-laki itu menyadari kehadirannya di dalam taksi.
"Panas banget pipi gue." Mentari memejamkan matanya dengan kedua tangannya yang menyanggah kedua pipinya.
********
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Ficção Adolescente"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...