Gemercik air yang mengguyur tubuhnya tidak membuatnya berhasil mendinginkan pikirannya di pagi subuh ini. Hawa dingin perpaduan hangatnya air shower membuatnya tak urung membiarkan tubuhnya terguyur bermenit-menit lamanya. Mentari paham mengapa gundah-gulana tiba-tiba menyerang di saat dirinya terbangun dari tidur malam yang kacau-balau. Dan untungnya berat di kepalanya karena kantuk masih menyerang tidak membuat gadis itu enggan beranjak dari tempat tidurnya.
"Galau kenapa?" Mentari melontarkan pertanyaan untuk dirinya sendiri bersamaan dengan mematikan shower.
"Gue galau karena jatuh cinta gue berakhir tragis." Disambarnya handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya setelah kimono menutupi seluruh tubuhnya. Kaki jenjangnya mengayun keluar dari dalam kamar mandi dengan tangan sibuk mengeringkan rambutnya.
Jarum jam menunjukkan pukul enam pagi. Sepasang mata Mentari sontak membulat setelah menyadari waktu saat ini. Mentari tidak salah melihat jam saat sebelum memasuki kamar mandi. Saat itu waktu menunjukkan pukul empat subuh. Yang berarti bukan lagi bermenit-menit Mentari berada di dalam kamar mandi.
"Gue beneran patah hati masa?" Dilemparkannya handuk kecil ke sembarang arah bersamaan dengan kakinya yang melangkah menuju walk in closet. Tidak habis pikir dengan apa yang barusan dilakukannya. Dua jam membiarkan tubuhnya terguyur hanya karena kepalanya nyaris meledak memikirkan kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Tidak perlu diperjelas tentang perasaan itu, karena faktanya Mentari cukup malu menyadarinya.
Aktifitas pagi dalam kamarnya dilewati dengan kehampaan. Mentari berharap ketika berada di meja makan kehampaan itu sirna. Namun, kehampaan tidak akan pergi menyelimuti perasaan Mentari hanya dengan perkataan bik Susi, "Non, sarapan sudah siap. Nyonya udah pergi ke kantor, katanya sibuk banget. Den Rean juga gak pulang. Mungkin di rumah oma."
Mentari pada akhirnya memilih sarapan di dalam taksi dengan sekotak sandwich yang bik Susi buatkan.
————————
"Ren, Maureen udah gak mungkin ganggu Vina lagi." Deran maju selangkah ke arah Rean yang tengah memunggunginya. "Jangan kayak anak kecil, Ren."
"Gue juga gak mau terjebak dengan masa lalu."
"Dan gak harus melibatkan orang lain."
"Gue gak suka penindasan. Sebagai bukti gue sayang sama kakak gue yang mati karena pembullyan, gue harus melindungi seseorang yang punya nasib kayak kakak gue." Rean menjelaskan dengan begitu tenang.
"Tapi—"
"Lo gak tahu 'kan seberapa khawatir gue sama Vina? Gak tahu rasa benci gue sama Adeline berkahir gara-gara Vina?"
"Lo bukan cinta sama Vina, tapi berempati."
"Gue gak peduli. Gue cuman mau lihat Vina baik-baik aja."
Deran memijit pangkal hidungnya. "Kalo yang lo pedulikan cuma keselamatan Vina, kapan lo peduli sama perasaan lo yang terus dibohongi?"
"Gue gak akan jatuh cinta." Rean membalikkan tubuhnya berhadapan langsung dengan Deran. "Gue rela gak bahagia karena cinta, karena gue gak mau sakit karena cinta!"
"Sakit hati gak semuanya tentang cinta!"
Sembari menepuk pundak Deran, Rean berkata, "Lo belum paham definisi mencintai dengan tulus. Gue dan kisah cinta gue, gak akan pernah berada di ending yang bahagia." Lantas Rean melenggang pergi begitu saja meninggalkan kesunyian atap sekolah. Rean tidak samasekali mengakui adanya cinta. Cinta tidak akan pernah membuatnya baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Teen Fiction"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...