30. HARAPAN

37 9 9
                                    

Jangan beri aku keraguan, karena aku bukan seseorang yang sabar menunggu kepastian

-Himmel story

*
*
*


"Vina Widya Wirawan. Kasian sih dia dijadiin pacar karena alasan menyelamatkan dari pembullyan." Mentari cukup lama mengamati wajahnya dalam pantulan cermin. Lantas ia beranjak pergi, menyambar tas ransel di tepi ranjang dan bergegas pergi ke luar kamar. Ya, dimulai pagi ini Mentari akan sungguh-sungguh untuk menghindari Rean tapi dengan hati yang berharap agar Rean memberikan feedback atas rasa sukanya.

Katakan bahwa mengubur perasaan tidak semudah untuk mencintai. Begitulah Mentari dengan perasaannya yang entah mengapa harus menetap di sana.

Antara ucapan Gion yang mengatakan Rean pacaran hanya trauma, perlakuan Rean yang seolah menjadikannya sebagai seseorang yang spesial, dan betapa menyakitkan jikalau faktanya Rean sudah merasakan benih-benih cinta pada Vina, itu semua hadir memenuhi pikiran Mentari di pagi buta ini. Di sepanjang perjalanan pun Mentari menerka-nerka apakah Rean mencintainya atau tidak.

"Enggak, gue harus belajar melupakannya." Ucapan Mentari membuat supir taksi yang Mentari tumpangi itu terkekeh. Tanpa sadar Mentari berucap demikian di keheningan taksi yang tengah berhenti di lampu merah.

Bahkan sekarang Mentari mengingat kejadian di malam tadi yang mana Mentari terjaga setengah malam hanya memikirkan apakah Rean pun memiliki perasaan yang sama sepertinya? Jika iya maka Mentari akan menunggu Rean menyelesaikan masalahnya tanpa harus menyakiti siapa pun.

Bayangan Rean yang berkelebat di pikirannya mulai tampak nyata berdiri di hadapannya setelah menuruni taksi. Rean dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celananya menatap Mentari penuh pertanyaan.

"Kenapa gak bareng gue?" Rean membenarkan tas yang tersampir di satu bahunya. "Kita masih satu tujuan, 'kan?"

Mentari terdiam sesaat sebelum menyadari bahwa itu bukan fatamorgana melainkan Rean. Dia benar-benar laki-laki yang memenuhi pikirannya.

"Mentari."

"Why?" sahut Mentari spontan.

"Lo kenapa sih, aneh!"

"Gue aneh!?" Entah mengapa Mentari harus merasa emosi. "Lo yang aneh!" Lantas ia melenggang pergi begitu saja mulai memasuki gapura yang berdiri kokoh tempat di mana keluar-masuknya ke sekolah yang menjadi tempat pertamanya bertemu lagi dengan Rean.

Sedangkan Rean yang masih berdiri di tempat mengerutkan keningnya. "Aneh? Iya, aneh. Aneh kenapa gue selalu merasa peduli sama lo, Tar."

**********

"Lo jangan plin-plan, Ren!" Sekonyong-konyong Gion menempeleng kepala Rean setelah duduk di samping laki-laki itu. "Kalo lo merasakan kebahagiaan dan ketenangan sama Mentari, lo jangan kasih harapan lebih sama Vina!"

Niko yang juga duduk di sana berdecak. "Walaupun lo mau kayak gue, gue gak pernah tuh yang namanya kasih harapan sama cewek-cewek gue!"

"Diem lo!!!" Rean menatap Niko nyalang membuat laki-laki itu terkikik geli.

"Lo sih gak percaya cinta. Cinta sama kebersamaan itu satu hal yang berbeda kata dan bermakna sama. Tapi menurut psikologi cinta, cinta sejati itu bukan tentang kebersamaan, tapi tentang sejauh apa dia membiarkan cintanya bahagia walau bersama orang lain." Kali ini Deran yang menimpali. Dia menatap lurus ke depan dengan kedua tangannya yang sibuk memutar-mutar bola basket.

"Lo demam?" Rayhan spontan menempelkan tangannya di kening Deran yang langsung ditepis dengan kasar.

"Efek rindu sama Milka." Kali ini Gion menyahuti dengan terkikik geli.

"Jadi gimana!?" Deran dengan sewot bertanya pada Rean membuat Rean mengerutkan keningnya. "Hubungan lo, Ege!"

Setelah cukup lama terdiam, Rean menghela napas panjang. "Dulu juga Adeline mutusin gue karena gue sibuk bolak-balik rumah sakit, periksa penyembuhan ginjal gue. Dan kalo misalkan gue putusin Vina, gue takut bikin Vina kecewa. Fisiknya lagi lemah, Bor. Gak tega gue." Rean menunduk menatap lantai dengan tatapan kosong.

"Masa lo mau paksain hubungan lo yang perasaanya pun masih abu-abu? Itu bukan kebahagiaan namanya, Ren, tapi mencegah penderitaan yang belum tentu bakalan terjadi. Masalah yang menimpa kakak perempuan lo jangan dibawa-bawa, Ren. Vina masih bisa kita lindungi tanpa dalih pacarnya Langit Bintang Andrean." tukas Rayhan. "Lo menekan diri supaya bisa nyaman sama Vina, tapi ternyata lo cuma iba. Obsesi, kagum, empati, itu beda arti sama cinta."

"Dah lah, gue ikhlas liat dia bahagia sama orang lain." Rean merasa malas jikalau harus membahas soal cinta. Cinta itu membuat seseorang bodoh, juga memahami cinta itu terlalu bodoh. Entah apa motif dunia membawa penghuninya jatuh terperangkap ke dalam lautan cinta.

"Liat Mentari sama Zidane aja cemburu!" Niko mengelak. Hal itu membuat Rean seketika terdiam.

"Jujur aja lah, Ren. Lo juga harus memperjuangkan cinta lo biar gak tantrum!" Gion berseloroh. Mengingat semalam saat Rean di basecamp marah-marah seperti seorang perempuan dengan moodswing membuat para jalu keheranan. Rean merasa kesal karena Zidane secara terang-terangan bahwa dia akan memperjuangkan Mentari.

"Rasain lo, Ren, jatuh cinta!!!" seru Niko membuat detik kemudian gelak tawa dari teman-teman Rean pun tercipta.

Rean dengan spontanitas berdiri dari duduknya. "Diem lo pada!!" Lantas dia melangkah pergi ke tengah lapangan basket, menendang bola basket dengan begitu keras ke arah tim lawan yang tengah berlatih.

"Anjir, sabar dikit, Bos!" Salah seorang anggota lawan mengerang. "Yok tanding, Bray!" serunya kepada anggota lainnya. Hal itu membuat Deran dan lainnya menyusul ke tengah lapangan, bersiap untuk tanding dengan tim lawan.

Tentang perasaannya Rean masih ragu. Atau bahkan Rean tidak tahu dengan perasaannya sendiri seperti ketidaktahuannya bahwa Mentari mendengar semua yang Rean dan teman yang lainnya bicarakan.

Mentari berdiri tak jauh di tempat di mana Rean dan teman-temannya berbincang. Ia terdiam menatap Rean yang sekarang tengah bermain basket. Lagi-lagi secercah cahaya datang memberikannya harapan. Hal itu membuatnya berani untuk kembali naik ke atas langit tanpa keraguan.

"Kalo kita memiliki perasaan yang sama, mari kita berjuang." Mentari bergumam dengan sebuah harapan. Ia tidak sama sekali memikirkan bagaimana perasaan Vina nantinya yang merasa dicampakkan. Vina hanyalah peran pengganti dalam jalan ceritanya.

Akan tetapi yang sudah memulai berjuang untuk mengadili perasaannya bukan Rean atau pun Mentari, melainkan Zidane. Zidane yang sudah siap dengan kaus basket itu mendengar dengan apa yang tadi Rean katakan. Dia sengaja memancing Rean agar bisa membawa Mentari yang tersesat dalam labirin yang Rean buat. Bukan dia malas untuk memperjuangkan cintanya melainkan dia memilih mundur karena saingannya adalah seseorang yang dicintai gadis itu sendiri. Zidane cukup muak dengan perasaannya yang tak terbalas. Dia memilih mengakhirinya walau tanpa memulai. Mencintai Mentari itu menjadi beban pikirannya selama ini. Dia memilih untuk membiarkan cintanya bahagia dengan pilihannya.


*
*
*
*

See you next time 🧡

HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang