"Kak Zidane." Mentari bersuara dengan kepala menunduk. Sedangkan kedua kakinya tak kunjung berhenti melangkah menyusuri koridor sekolah yang lumayan sepi karena bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu. Karena tadi siang Zidane mengirim pesan untuk pulang bersama alhasil Mentari harus menunggu kelas Zidane yang baru usai setelah lima menit bel pulang berbunyi."Apa, Tar?" Zidane menoleh menatap Mentari di sampingnya.
"Sorry, gue ... selalu ngerasa bersalah." Mentari mengehela napas panjang. "Kalo misalkan gue coba perlahan buka hati ... gak mustahil suatu saat nanti—"
"Udahlah." Zidane menyela membuat Mentari menoleh menatapnya. "Jalani aja kayak gini."
"Tapi .... "
"Gue ngebebanin ya?" Zidane menghentikan langkahnya membuat Mentari ikut berhenti.
"Enggak. Gue cuma mau belajar menerima seseorang. Gue ngerasa butuh seseorang kayak lo, yang peduli sama gue." Mentari menatap lekat manik mata hitam Zidane.
Zidane diam terpaku. Ini yang dia tunggu selama ini. Namun, sayang ucapan itu membuatnya tidak berniat untuk melangkah mengingat alasan Mentari saat itu menolaknya. Mentari menolaknya karena alasan ingin mengejar langitnya. Zidane tahu selama Mentari berpacaran dengan orang lain tidak pernah menghadirkan perasaan. Hanya kata 'langit' yang ada dalam hatinya. Apakah mungkin itu Langit? Langit Bintang Andrean.
"Gue belum cinta sama lo. Tapi seenggaknya kalo kita belajar untuk saling mencintai pasti hubungan ini seperti hubungan pada umumnya," ucap Mentari lagi. "Dan menurut gue cinta itu gak perlu saat-saat kayak gini. Gue ... bener-bener udah pasrah sama kehidupan gue. Gue pengen ada seseorang yang mengakui gue sebagai keluarganya. Menjaga gue, sayang sama gue. Dan gue bisa ikhlaskan apa pun yang terjadi sama gue selama ini. Bahkan gue bisa lupa sama tentang gue sendiri yang sebagai anak broken home. Biar gue sadar kalo gue gak seharusnya berharap pada sesuatu yang tidak pasti." Lantas Mentari menunduk dalam. Ia benar-benar yakin untuk memulai hidup baru. Menerima orang baru demi untuk melupakan masa lalu. Ia juga merasa lelah dengan Rean. Rean yang diharapkan untuk menjadikannya sebagai prioritas. Ini adalah saat-saat Mentari merasa kehidupannya berada di ujung tanduk. Antara berjuang untuk seseorang, atau menerima seseorang ... maka Mentari memilih untuk menerima.
"Mentari." Zidane meraih kedua tangan Mentari, menatap kedua matanya lekat. "Lo gak boleh mengambil keputusan di saat keadaan lo gak baik-baik aja. Gimanapun juga gue pake perasaan, gak kayak lo yang bertujuan untuk melupakan orang lama. Gue yakin kita akan berakhir tidak baik jika lo nerima gue sekarang. Jangan paksakan diri, Tar. Di saat raga dan jiwa tidak bersama-sama, itu menyakitkan."
Mentari terdiam menerka ucapan Zidane. Apa mungkin yang Zidane maksud adalah di saat dirinya bersama Zidane, tapi perasaanya bersama Rean? Apakah ini termasuk dirinya menjadikan Zidane sebagai pelampiasan?
"Kalo lo butuh tempat cerita, sama gue aja." Zidane tersenyum tipis. "Dan jujur aja gue lagi berusaha lupain lo."
"Permisi!" Sekonyong-konyong Rean tanpa otak berjalan menerobos masuk membuat kedua tangan Mentari dan Zidane yang berpegangan itu terlepas. Mungkin Rean mengingat betapa bahagianya di saat kecil bermain kereta api yang memasuki gerbong.
"Lo punya otak gak?!" Teriakkan Mentari berhasil menghentikan langkah Rean.
Rean berbalik menatap Mentari datar. "Jangan halangi jalan."
"Lo buta ya, jalan lebar selebar ketololan lo malah seenaknya aja! Lo pikir kita ngajakin lo main kereta api!?" Mentari berkacak pinggang menatap Rean nyalang. Entah laki-laki di hadapannya itu manusia normal atau bukan. Yang jelas Mentari dibuat terheran-heran dengan laki-laki setengah robot itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Novela Juvenil"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...