Tangan hangat membelai rambutnya, menyingkirkan anak-anak rambut yang menghalangi wajahnya. Lantas, genggaman hangat dari tangan yang lebih besar itu mengerat. Ciuman haru pun berkali-kali mendarat di keningnya. Mentari tahu papa yang melakukan semua itu, walaupun papa tak bersuara selain menangis terisak-isak. Mentari tahu papa menunggunya untuk membuka mata, tapi Mentari terlanjur nyaman dengan matanya yang tertutup. Mentari takut dengan kejadian semalam kembali dilihatnya: semalam papa yang begitu bahagia tanpa tahu dirinya yang terluka, semalam laki-laki yang diharapkannya benar-benar memilih hidup bersama perempuan lain, semalam, di tengah hujan, trauma itu datang menyerangnya. Sampai suara seorang dokter perempuan yang baru memasuki ruangannya menghidupkan suasana mati itu, Mentari tak kunjung membuka matanya.
"Anak saya kapan membuka mata, Dok? Sudah semalaman dia tidak sadarkan diri." Suara Papa menggema di indra pendengarannya, menyayat hati yang terlalu asing dengan sebutan 'anak saya'.
"Secepatnya. Secepatnya putri bapak terbangun," balas sang dokter perawat. "Putri bapak tidak sadarkan diri karena efek bius. Bapak tenang saja."
Tak lama kemudian Mentari merasakan dinginnya stetoskop di dadanya. Merasakan tangannya yang diinfus diangkat berkali-kali. Maka dari itu, Mentari memilih membuka matanya secara perlahan. Suasana yang tampak curam menyambutnya. Tiga orang dari dalam ruangan serba putih itu, termasuk dirinya, memilih terdiam.
"Nanti jam enam lewat tiga puluh menit langsung dikasih makan ya, Pak. Jangan lupa sebelum makan, minum obat lambungnya terlebih dahulu," jelas dokter itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan.
Suasana canggung mulai menyerang. Sepasang anak dan ayah itu tidak tahu harus memulai dari mana untuk memecahkan keheningan. Bibirnya terlalu kelu. Pergerakannya terlalu kaku. Seiring berjalannya waktu, akhirnya suasana pun perlahan menghangat saat Papa menggenggam tangan Mentari, memberikan kehangatan.
"Papa minta maaf," ucap Papa dengan menahan dadanya yang terasa pedih menahan tangis.
Mentari tersenyum getir. Ia menatap papanya dengan lekat. "Tari juga minta maaf."
"Mentari ..., " Papa termenung sesaat sebelum akhirnya kembali berkata, "Kamu akan pergi malam ini?"
Mentari hanya mengangguk menanggapinya.
"Mentari." Papa tertunduk, menghela napas yang menyakitkan.
Mentari yang mulai berkaca-kaca perlahan terbangun dari tidurnya. "Tari gak milih buat hidup sama Papa ataupun mama. Tari memilih hidup Tari sendiri. Jauh dari tempat Papa berada."
Dalam hitungan detik Papa memeluk Mentari dengan begitu erat. Deraian air mata menyempurnakan suasana sedih di dalam ruangan inap di rumah sakit itu. Dengan papa yang berkali-kali berkata 'maaf' membuat Mentari larut dalam kesedihan. Bahkan tampias sang surya di luar sana tampak muram dengan cahaya identik dengan kesedihan. Mungkin, sang surya turut bersedih.
*******
Di lorong rumah sakit Zidane mengayun kakinya dengan cepat. Tampang datar dengan rahang mengeras menandakan laki-laki itu tengah diambang kemarahan. Sampai di depan sebuah ruangan inap VIV laki-laki itu berhenti sesaat sebelum akhirnya membuka pintu dengan keras. Di dalam ruangan itu terdapat lima orang laki-laki: Rean, Deran, Rayhan, Gion, dan Niko yang tengah duduk di sofa, terkecuali dengan Rean yang duduk di kursi roda dengan tangannya yang diinfus juga kepalanya diikat kain kasa. Mereka semua menatapnya dengan penuh pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Teen Fiction"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...