Bumantara pagi menyapa bumi dengan hangatnya sang baskara. Pagi yang membuat Mentari sedikit canggung karena harus satu meja dengan papa Raya untuk sarapan pagi.
"Mentari, jangan sungkan sama Om." Wijaya, papa Raya menepuk singkat pundak Mentari. "Om jarang pulang karena pekerjaan."
Mentari tersenyum sungkan. Tidak tahu harus merespon apa pada pria yang menjadi papa temannya itu. Ini pertama kalinya diperhatikan seorang ayah. Walaupun itu bukan ayahnya. Jujur saja jika itu bertentangan dengan sosok ayah ataupun ibu selalu berhasil membuat suasana hati Mentari menjadi suram, walau wajahnya terlihat baik-baik saja.
"Mendingan setiap hari nginep di rumah gue, Tar. Jangan kayak si Elza yang sibuk nemenin omanya, gak bisa nginep di sini!" tukas Raya sewot. "Malem tadi aja gak nginep!"
Wijaya yang mendengar itu terkekeh. "Iya, Mentari. Temenin Raya di sini. Kasian, sedari kecil kesepian. Mama Raya udah meninggal, saat Raya berusia empat tahun."
Sesaat suasana pun menjadi hening sebelum akhirnya Wijaya berucap, "Kalian lanjutkan saja." Lantas Wijaya beranjak dari duduknya dan bergegas pergi.
"Raya." Mentari menatap Raya yang duduk di sampingnya. "Sorry, bahkan gue gak tau kehidupan lo."
Raya terkekeh. "Apaan sih, Tar. Gue juga gak tau seluk-beluk lo. Pelan-pelan aja bertukar cerita, oke?"
"Iya, gue—"
"Buruan, Tar, abang gue takut nungguin!" Raya dengan cepat beranjak dari duduknya, menarik Mentari yang masih anteng duduk di hadapan meja makan.
"Abang?"
Raya berdecak. "Iya, gue berangkat bareng sama abang gue." Lantas Raya menarik paksa tangan Mentari untuk mengikutinya.
"Terus gue sama siapa?" tanya Mentari yang terpaksa mengikuti Raya.
"Gion." Rayhan yang menyahuti, bukan Raya. Rayhan tengah duduk di sofa, menatap kedua perempuan cantik yang sudah lengkap dengan seragam sekolahnya. "Rean pulang, gak tidur di basecamp karena ditelpon tante Agni."
Mentari hanya ber-oh ria menanggapinya.
"Itu si Rean yang minta." Sembari beranjak dari duduknya Rayhan berujar membuat Mentari mengerutkan keningnya. "Si Rean gak bisa berangkat bareng lo, makanya minta si Gion buat anterin. Peduli banget 'kan Rean?" Diakhiri dengan senyuman ramah.
Mentari tersenyum kecut menanggapinya. Bahkan hal yang perlu diingat adalah bukan tentang Rean yang peduli, melainkan tentang Rean yang tidak ingin di cap pengecut karena gagal untuk menjaganya. Rean hanyalah menjaga, buka keinginannya sendiri!.
———————
Suatu kebetulan Mentari bertemu dengan Zidane saat dirinya seorang diri berjalan di koridor sekolah. Sekolah bisa dikatakan sepi karena sebagian anak-anak sudah pulang.
"Kok belum pulang?" tanya Zidane dengan kedua kakinya yang berjalan tenang menyusuri koridor.
"Piket dulu." Mentari menyahuti.
"Pulang sama siapa?" Pertanyaan Zidane terlalu lembut untuk Mentari abaikan.
Mentari mengulas senyumnya. "Sendiri."
"Bareng gue aja."
"Dengan senang hati," sahut Mentari cepat. Yang kemudian keduanya berakhir terkekeh.
"Eh, gue ada yang ketinggalan." Zidane tiba-tiba menghentikan langkahnya membuat Mentari pun ikut berhenti. "Bentar ya, gue ke loker dulu." Tanpa menunggu jawaban dari Mentari, Zidane pun bergegas pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Ficção Adolescente"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...