25. PERINGATAN

44 17 39
                                    


Daun kering yang terbang itu hinggap tepat di hadapan sepasang sepatu yang Mentari kenakan untuk sekolah. Tepat setelah Mentari melangkah pergi Rean menginjak daun kering itu.

"Cara berterimakasih sama gue gimana, Tar?" ucap Rean seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Gaya cool yang dimilikinya dikeluarkan.

Mentari yang tengah melangkah pun menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Rean di belakangnya. "Gimana?"

"Terimakasih, kak Langit. Gitu harusnya." Rean tersenyum simpul.

Mentari tersenyum devil, lantas mendengkus kesal. "Makasih apa coba? Gak jelas!"

"Ya, karena .... "

"Udahlah, males ngomong!" Mentari melenggang pergi begitu saja meninggalkan parkiran sekolah yang sudah dipenuhi deretan motor berjejer rapi.

Rean yang masih berdiri di tempat terkekeh menatap kepergian Mentari.

Dan disepanjang perjalanan menuju kelasnya Mentari terus mengumpat dalam hatinya. Mengumpat tentang 'Rean yang tidak berperasaan, Rean yang berani-beraninya membuat perasaannya salah paham, Rean si laki-laki dengan sikap misterius, Rean aneh yang seperti bunglon sering berubah tergantung lingkungan, segalanya tentang Rean yang sulit untuk ditebak'.

"Cinta, cinta, muak gue dengernya. Mau sehebat apapun, kalo udah berkaitan sama yang namanya cinta tuh orang gak ada logikanya!" Suara Elza yang Mentari dengar saat memasuki ruangan kelas.

"Kan cinta itu anugrah, Za. Gue cinta sama kak Deran itu wajarlah." Raya mengelak.

Elza menghembuskan napasnya kasar. "Wajar apanya, Ray? Lo selalu aja fokus mikirin gimana caranya biar dapetin kak Deran. Jaga image lah, Ray. Dan tentang manusia yang sudah berkaitan dengan perasaan selalu menjadi lemah, itu fakta!"

"Enggak tau ah, lo enak dikejar, jadi gak pernah ngerasain seberapa excited kita buat bersama orang spesial." Raya yang tengah duduk menghadap Elza pun membalikkan tubuhnya sehingga mendapati Mentari yang tengah berdiri di dekat pintu. "Si Mentari yang tolol, berharap sama orang yang udah punya pacar!"

"Heh, heh, lo jangan bawa-bawa gue lah, Ray!" Mentari melangkah menuju kursinya. "Masalahnya beda, Ray. Gue sering sama-sama sama dia. Gak baper gimana coba orang dingin jadi hangat gitu. Kan serasa dispesialkan."

"Tuh 'kan, si Taro ada perasaan sama kak Rean," tukas Raya sebelum akhirnya menopang dagunya di atas kedua lipatan tangannya.

Mentari yang sudah duduk di kursi menjadi salah tingkah. "Gue ... gue ... enggak baper kok, tetep sadar diri."

"Sadar diri lah, orang mau cemburu juga gak wajar." Raya yang masih dengan posisinya menyeletuk membuat Mentari tak tanggung-tanggung menendang kursinya.

"Intinya hati-hati, dia Kang Ghosting yang nyari pelarian saat kesepian," timpal Elza membuat Mentari mangut-mangut.

°°°°°°°°°°

Bel istirahat berbunyi nyaring lima menit yang lalu. Kini Mentari tengah memenuhi permintaan Vina untuk menemuinya di rooftop.

Maureen orang yang pertama dilihatnya. Perempuan itu tengah membelakanginya, tepat berhadapan dengan Vina. Sekitar tiga meter jarak antara Maureen dan Vina. Keduanya cukup lama terdiam sampai akhirnya Maureen berkata, "Putusin Rean."

Vina tersenyum tipis, menatap Maureen dengan tenang. "Maaf Kak, gue gak bakalan lepasin kak Rean, bagaimana pun caranya."

Maureen terkekeh, bersedekap dada. "Cupu, punya keberanian dari mana lo?" Ia melangkah maju sampai sedikit jarak diantaranya dengan Vina.

HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang