Mentari diam terpaku saat langkahnya terhenti. Tepat di hadapannya Vina menatapnya dengan tatapan kosong. Ada rasa bersalah karena dirinya hendak menghancurkan hubungan Vina, ada rasa benci karena gadis itu alasan papa melupakannya, dan ada rasa iba mengetahui Rean mencintai gadis itu dengan ketidak-tulusan.
Setelah beberapa saat mereka lalui dengan saling menatap dan berdiam diri saja, Mentari mengalihkan pandangannya. Ia menatap ke arah belakangnya di mana di sana memperlihatkan punggung Rean yang masih duduk di bangku taman seorang diri.
Pikiran Mentari dipenuhi pertanyaan 'apa Vina melihat kebersamaannya dengan Rean? Dan apa mungkin Vina mendengar apa yang dibicarakannya dengan Rean?'.Dan akhirnya Mentari memutuskan untuk pergi tanpa sepatah kata pun.
Setelah kepergian Mentari, Vina melangkahkan kakinya berniat untuk menghampiri laki-laki yang menjadi kekasihnya itu. Tidak bisa ditutupi rasa sakit di dadanya saat melihat kebersamaan kekasihnya itu dengan gadis lain. Bahkan sampai saat ini dadanya masih terasa sakit. Vina tidak mendengar dengan apa yang mereka bicarakan, tetapi Vina bisa melihat dengan jelas kedekatan mereka.
Aku takut. Takut kehilangannya. Vina berseru dalam hatinya. Lantas ia menghentikan langkahnya dan melangkah mundur. Dadanya mulai terasa himpit takut dengan apa yang ditakutkannya terjadi. Hal yang ditakutkannya adalah di mana Rean memandangnya tak lebih dari sekedar rasa iba. Rean hanya memiliki empati untuknya dan bukan mencintainya.
Vina setengah berlari dengan tenggorokannya yang mulai terasa perih. Perih karena menahan sesak yang mencari jalan keluar dari dadanya yang terlalu sempit. Kedua matanya pun mulai berembun sebelum akhirnya ia mulai memasuki toilet.
Apa aku gak pantas untuk bahagia, Tuhan? Apa aku gak pantas mendapatkan sesuatu yang terlalu istimewa?
Rasa takut kehilangan Rean semakin kuat kala mengingat saat itu Rean mengungkapkan perasaannya. Entah dengan keterpaksaan Rean melakukan itu hanya untuk menyelamatkannya dari apa yang Maureen lakukan, atau mungkin Rean memang mengincarnya karena termakan apa yang Adeline katakan, bahwa 'Rean memiliki penyakit dan lebih baik dengan seseorang yang juga merasakannya'. Dan mungkin pada akhirnya Rean terperangkap dalam kepura-puraan. Dalam keterpaksaan.
Vina bukan overthingking melainkan sadar diri. Ia hanya seorang gadis tanpa keberanian. Gadis yang lebih sering menundukkan kepalanya. Gadis yang tertutup. Gadis introvert. Gadis pemalu tidak memiliki kepercayaan diri. Gadis yang mengidap penyakit. Gadis lemah yang tak layak untuk dicintai oleh seseorang yang seistimewa Rean. Berbeda jauh dari gadis-gadis pada umumnya yang bahagia di masa SMA. Sedangkan dirinya hanya gadis yang setiap harinya ditemani obat-obatan. Pemikirannya terlalu pesimis. Merasa dirinya tak layak mendapatkan hal yang terlalu istimewa.
Vina mulai menitikkan air matanya seraya menyandarkan punggungnya ke bilik toilet. Kedua kakinya perlahan mulai tumbang. Vina tidak tahu pasti bagaimana perasaan Rean untuknya seperti ketidaktahuannya bahwa Mentari berada di balik bilik yang disandarinya. Mentari juga melakukan hal yang Vina lakukan. Keduanya sama-sama menitikkan air matanya memikirkan laki-laki yang sama. Sampai keduanya berakhir sama-sama menjatuhkan tubuhnya begitu saja. Membiarkannya duduk di lantai toilet.
Mentari dengan harapan yang mungkin tidak pasti. Namun, lubuk hatinya terlanjur jatuh terperangkap ke dalam labirin yang Rean ciptakan. Hanya Rean yang bisa membantunya keluar dari labirin tersebut.
Vina dengan dipenuhi rasa insecur berusaha menenangkan pikirannya bahwa semua akan baik-baik saja. Ia yakinkan hati bahwa Tuhan telah menyiapkan seseorang untuknya di masa depan nanti. Namun, seseorang yang Vina harapkan tetaplah Rean.
**********
"Lo yakin gak bakalan dimarahin mokap lo jam sebelas malam belum balik?" Deran menepuk pundak Rean yang tengah memakaikan helm pada kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Roman pour Adolescents"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...