"Lo kapan berangkat ke bandara?" Elza memecahkan keheningan di dalam ruangan inap yang Mentari tempati.
"Malam ini," balas Mentari yang tengah disibukkan mengemasi barang-barangnya. "Sekarang gue mau balik ke rumah tante Agni. Kalian pulang aja."
"Lo pulangnya sendirian?" tukas Raya.
Mentari menghela napas panjang, berbalik menatap kedua temannya yang tengah duduk di ranjang sebelah yang kosong. "Pas kemarin malam ... siapa orang yang nyelamatin gue dari kecelakaan?"
"Kak Rean." Itu yang Raya katakan membuat Mentari seketika terdiam.
"Kak Rean yang nyelamatin lo sampe ngalamin pendarahan, karena kepalanya terbentur aspal." Raya kembali berkata.
"Apa gue perlu bilang makasih?" Mentari menatap satu persatu kedua temannya.
Raya beranjak dari duduknya, menghampiri Mentari. "Lo benci banget sama dia?"
Mentari mengangguk spontan. "Selama gue ingat sama dia, gue bakalan benci."
"Lo masih gak terima kak Rean tunangan sama Vina? Atau lo gak terima papa lo pilih Vina?" tanya Elza kemudian yang membuat Mentari dalam sejenak tak berkutik.
"Dua-duanya." Mentari kembali membalikkan tubuhnya membelakangi kedua temannya. Ia kembali disibukkan mengemasi barang-barang. "Gue bakalan lebih baik mereka gak pilih siapa pun antara gue sama Vina."
Elza terkekeh. "Kayaknya lo lebih rela mereka mati?"
"Iya. Karena itu takdir yang tidak dapat dipilih." Mentari tersenyum getir. "Jodoh juga udah diatur, tapi seenggaknya dia bisa menghapus cerita yang dibuatnya sebelum berjalan kembali di atas takdirnya."
Rean di ambang pintu memundurkan niatnya untuk memasuki ruangan itu. Apa yang Mentari ucapkan membuatnya sadar bahwa dirinya brengsek. Sangat brengsek untuk seorang gadis yang terjebak dari kisah yang seharusnya tidak terjadi.
"Tapi, seharusnya kita bahagia." Rean bermonolog dengan tatapan sayu ke arah depannya. Di kursi roda, di lorong rumah sakit, Rean berdiam diri di sana dengan tangannya yang diinfus, juga kepalanya yang dibaluti kain kasa. "Gue minta maaf, Mentari."
Banyak hal yang ingin Rean selesaikan nyatanya tidak berjalan sesuai rencananya. Kata 'maaf' yang ingin dilontarkannya pun belum sempat terucap. Bahkan dia tidak berani untuk menemui gadis itu. Saat ini pikirannya hanya dipenuhi dengan kata, 'siapa yang bisa baik-baik saja ketika menyakiti seseorang yang disukainya?'.
Iya, Rean menyukai Mentari, tapi harus menguburnya.
Saat kepalanya yang sedari tadi menunduk terangkat, Rean menemukan Mentari berdiri tak jauh darinya. Rean ingin merengkuhnya. Namun, tangannya yang terlalu pendek tidak dapat menggapainya jika hanya terdiam. Mentari ... dia benar-benar pergi ... untuk selamanya?
Seuntai senyum manis tercetak di bibirnya yang tampak pias saat Mentari menatapnya. Tatapan lo terkunci dalam ingatan gue. Gue akan selalu rindu sama lo. Sampai jumpa, Mentari, bukan selamat tinggal. Karena gue berharap kita bisa bertemu lagi dengan keadaan paling bahagia.
Mentari perlahan-lahan menghilang dari pandangannya seperti mengatakan bahwa gadis itu juga akan menghilang dari hidupnya.
Mentari, semoga bahagia. Dengan tatapan yang sendu, dengan senyuman payah yang dimilikinya, dengan perasaan yang pilu, Rean membiarkan perempuan yang dicintainya pergi begitu saja tanpa tahu bahwa perasaan perempuan itu terbalas. Terbalas dengan berkali-kali lipat. Mungkin sekarang saatnya gue menghargai yang udah gue dapatkan.
------
Meratapi kepergian seseorang mungkin jauh lebih sulit alih-alih dirinya sendiri yang harus pergi. Mentari mengalah. Mentari menyerah. Mentari lari dari semua kisah di negri ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMMEL; Pada Pertemuan Kedua
Teen Fiction"Himmel itu Langit dalam bahasa Jerman. Langit itu bukan angkasanya bumi. Langit adalah dia yang berhasil membuatku tersiksa dalam gejolak asmara." Itu kata Mentari. Memang takdir seolah menginginkan Mentari dan Rean bersama. Rean adalah laki-laki d...