44. Rumah Putih

95 22 52
                                    

Yesseh mengganti SIM lamanya dengan SIM Tiongkok dan langsung membuang kartu lama itu dengan cara melemparkannya ke kotak sampah. "NICE SHOT," teriaknya saat kartu kecil itu masuk tepat sasaran.

"Three points," sambungku.

Dia mengeluarkan semua barang dari koper dan mulai menyusunnya. Kami sudah pindah ke apartemen baru-apartemen Polaris.

Yesseh mengabarkan nomor barunya kepada anggota keluarga dan meminta mereka untuk menghapus yang lama karena sudah tidak dipakai lagi. Surat izin tinggal untuk durasi maksimal juga sudah diurus dan sedang diproses.

Yesseh mengirimkan alamat apartemen ini agar mama bisa mengirimkan barang kami yang masih tertinggal di rumah dengan segera. "Ke JNE di dusun tulah, dide nak jauh ige ke POS."

"Kami sampai di tujuan dengan selamat, sehat, sudah mendapatkan tempat tinggal tetap, dan sudah makan." Yesseh mengabari rekan-rekan yang ada di grup Darah Biru KW.

"Setelah seminggu tidak berkabar, akhirnya Nyonya kita mengabari dengan informasi yang sangat lengkap yagesya," balas Bang Rudra yang sudah tahu kalau Yessehlah pengirimnya tanpa Yesseh harus memberi tanda pada mereka. "Aku sama Reyndra lagi makan."

"Sana, lanjut makan. Awas salah gigit."

"Gigit Reyndra."

Aku tertawa dan benar-benar sudah sangat rindu dengan kekonyolan Bang Rudra.

Yesseh meletakkan ponselnya ke atas nakas dan mencari-cari tote bag hitamnya ke sana-sini. "Di mana kutaruh kemaren?" Dia memicingkan matanya dan mencoba fokus melihat setiap sudut. "Itu dia."

Dia berjalan ke bagian samping kulkas, mengambil tas kain yang agak terselip di bagian belakangnya. "Bisa-bisanya kau di sini. Kupikir kau tinggal di hotel." Dia menatapnya dengan kesal seolah ingin menelan tas tak bernyawa yang talinya sedang dia cengkeram itu.

"Ayang, cepat cari abang ipar, besok-besok Ayang bisa aja ngajak ngomong microwave sama kompor."

Dia tertawa. "Itu mah maumu." Dia mengeluarkan isinya dan menyisakan dua bungkus saja di dalamnya. Dia turun ke bawah menggunakan lift. Sebuah rumah sedang menjadi tujuannya.

Sepanjang jalan dia selalu tersenyum. Bukan senyum manis pastinya. Dia berhenti di rumah nuansa putih yang tidak terlalu besar, tapi terlihat elegan dan mewah. Dia memencet belnya dan menunggu pintunya dibuka.

Pintunya terbuka.

Seorang laki-laki dengan setelan jas yang sangat rapi muncul di hadapan Yesseh. Dia mengenakan setelan jas hitam hitam dengan kemeja putih dan dasi hitam yang agak longgar. Dia sangat tinggi, meski tubuhnya tidak besar, dia tetap terlihat bugar dan kekar.

"Kami adalah anak-anak yang dimaksud oleh Dokter Syifa." Yesseh memperkenalkan diri menggunakan bahasa Inggris.

Pria itu mendorong dasi hitamnya ke atas untuk merapikannya. "Masuklah, Y System." Suaranya sangat berat. Dia bisa menggunakan bahasa Indonesia.

Bagian dalam rumahnya terlihat sangat luas, mungkin karena tidak ada sekat antara ruang tengah tempat Yesseh berdiri sekarang ini dengan dapurnya. Semuanya juga didominasi warna putih, dengan interior warna hitam.

Yesseh menyerahkan tote bag yang ada di tangan kanannya. "Ini oleh-oleh makanan khas daerah kami."

Dia membukanya dan melihat isinya. "Apa ini?" tanyanya sambil membaca kertas yang ada di kemasannya. "Pempek?"

"Hope you like it."

"Thank you." Dia menyerahkannya pada seorang wanita paruh baya yang sedari tadi tidak mengucapkan apapun. Pria berjas ini menggunakan tangan untuk berbicara padanya dan wanita itu pergi ke dapur sambil membawa tas yang tadi Yesseh berikan.

Yesseh: Y System's CoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang