47. Terapi Ilegal

86 23 32
                                    

Yesseh menghela napasnya terlebih dahulu sebelum dia membuka pintu kamar. Dia melepaskan jilbabnya setelah menutup pintu itu dan langsung melemparkannya ke kasur. Dia melepas jaket hitam yang dia pakai dan menggantungnya dengan sangat baik dan juga dengan sangat hati-hati.

Dia langsung membanting tubuhnya yang sudah pegal-pegal karena duduk selama lebih dari dua jam dan mengoceh di sepanjang obrolan. Perbincangan tidak normal yang dilakukan antar dua orang yang sama-sama memiliki cacat empati. Aku jadi sedikit meragukan keputusan Dokter Syifa.

Aku selalu bertanya-tanya sedari tadi kenapa Dokter Syifa malah mengirimkan Yesseh pada seseorang yang bukan terapis. Dia memang menempuh pendidikan psikologi, ternyata ilmunya dia gunakan untuk tujuan yang lain. Ini mengerikan.

"Jangan laporkan apa pun pada Dokter Syifa."

Aku sudah mendapatkan ultimatum darinya. Tak ada jalan lain kecuali aku harus menurutinya. Dia mengganti posisinya dari rebahan menjadi duduk, dia mengeluarkan ponsel yang masih berada di saku belakang celananya. Dia mengetikkan sesuatu di mesin pencarian. "American Sign Language."

Dia melihat gambar-gambar yang ditampilkan dan membukanya satu persatu untuk mencari gambar yang paling jelas dan tidak kabur. "A." Dia mengepalkan tangan kirinya mencontoh bahasa isyarat yang tampak di gambar.

"B." Dia membuka tangan yang sebelumnya terkepal itu dalam posisi kelima jari yang dirapatkan lalu menekuk jempolnya.

Dia berusaha keras mencoba untuk menghafalkan semuanya. Dia juga mencari-cari bahasa isyarat yang lain. "Aku benci bahasa isyarat."

Aku sangat tahu. Orang yang sangat lugas sepertinya pasti membenci isyarat. Dia bahkan benci belajar sandi pramuka dan juga semafor.

"Ayang kan bisa minta translate ke Bang Yaoshan."

"Aku juga ingin berinteraksi dengannya." Yesseh merenggangkan urat lehernya. "Kasihan dia kalau aku hanya mengoceh pada Yaoshan."

"Pelan-pelan aja, Ayang." Aku menyemangatinya. "Minta ajari Bang Yaoshan."

"Kenapa kamu manggil dia 'bang'?" Dia menunjuk makhluk gaib yang ada di depannya.

Aku tertawa karena paham ke mana jalan pikirannya. "Kan dia gak mau dipanggil om. Lagian masih muda." Aku nyengir kuda. "Ganteng, Ayang."

Yesseh terbahak. "Ingat Adrian."

Aku ikut tertawa. "Ayang, aku ini gadis yang sangat normal. Suka lihat cogan."

Tentu saja aku selalu ingat pada Bang Adrian. Aku hanya ingin meledek dan menggoda Yesseh.

"Suka lihat cogan." Dia mengangguk pelan dan menyingkirkan lengan kemejanya. "Sial."

Aku tertawa karena tahu apa yang dia pikirkan. Tangannya sangat mungil dibandingkan dengan milik pria itu tadi.

"Berapa, ya, tingginya?" Aku sibuk-sibuk mengira-ngira.

"Di atas 180."

Sepertinya memang benar. Tingginya sekitar 180-an.

"Rourou lucu, ya, Ayang." Aku nyengir kuda.

"Kenapa ekspresimu itu?"

"Tidak." Aku menutup wajahku karena ketahuan memiliki maksud tertentu.

"Aku ke sana hanya untuk menjalankan terapi ilegal, bukan untuk hal lain."

"Iya, iya, terapi ilegal. Kenapa Ayang setuju?"

"Karena aku tak punya uang untuk membayarnya." Dia terbahak. "Untung dia bukan terapis."

"Kalau kita beruntung, mereka akan menjadi teman."

Aku teringat kata-kata Dokter Syifa waktu itu, dan aku berharap keberuntungan itu berada di pihak kami. Sekarang aku sedikit mengerti apa tujuan beliau, benar juga, terapis dan klien tidak bisa menjadi teman karena terhalang kode etik. Yesseh tak butuh terapis, dia butuh seseorang yang bisa merobohkan benteng es tebal yang dia bangun.

"Ayang belum salat Asar, loh."

Dia terkejut dan langsung menaruh ponsel yang masih menampilkan gambar ASL itu. "Makasih, Baby Girl." Dia melepas kemeja panjangnya dan langsung berwudu untuk salat.

Yesseh mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Dia memutuskan mandi setelah salat karena sangat kepanasan.

Sekarang sedang musim panas.

"Ayang, marry me."

"Inces." Dia tertawa sambil terus mengelap rambut pendek potongan lakinya itu menggunakan handuk putih kecil.

"Ayang ke sananya hari apa aja?"

"Sabtu dan Minggu aja mungkin. Pokoknya hari di mana dia libur atau jam kerjanya sedikit."

"Hm." Aku mengangguk-angguk sambil menggembungkan pipiku. "Menurut Ayang kenapa dia bawa ibu itu ke rumahnya?" Aku masih belum tahu harus memanggil atau menyebutnya dengan apa.

"Tidak tahu."

"Supaya gak bayar pembantu?"

"Bukankah itu lebih baik daripada dia menggelandang?"

"Betul juga."

"Jangan suuzon, Sayang. Apapun tujuan Yaoshan, hanya dia yang tahu."

Aku langsung beristigfar dengan overthinking-ku yang kadang keterlaluan sehingga membuatku berprasangka buruk pada orang lain. "Makasih, Ayang, udah ngingetin."

"Iya, Sayang." Yesseh menggantung handuk kecilnya. "Lagian, kayaknya dia bukan ART."

"Nampak seperti anggota keluarga?"

Yesseh mengangguk. "Ayo, masak."

"Yeay, masak."

"Yeay, yeay, tapi kerjanya nonton doang."

"Hehehe."

Dia berhenti saat memegang gagang panci dan memikirkan sesuatu. "Ini hari Sabtu, kan?"

"Iya." Aku mengangguk ragu karena bingung dengan maksud dari pertanyaannya.

"Tadi dia sangat rapi, kemungkinan pulang kerja. Berarti hari Sabtu dia juga kerja." Dia meletakkan pancinya di atas meja dan mengambil ponsel. "Benar juga, CEO pasti sangat sibuk. Untung saja pekerjaanku santai."

"Baiklah."

Sepertinya dia sudah mendapatkan keputusan.

"Dia akan meluangkan waktunya untukku."

Aku berteriak dan terbahak. "GAK KUAAAT!" Aku melambai-lambaikan tanganku. "Nyerah, nyerah, di mana kameranya?!"

Dia ikut terkekeh. "Bercanda, Baby Girl. Sepertinya akhir pekan waktu kerjanya sedikit." Dia mengirim pesan pada Bang Yaoshan melalui We Chat untuk menanyakan kejelasan mengenai jadwal terapi ilegal mereka.

Sebuah pencapaian besar bagi pria itu karena di hari pertama pertemuannya Yesseh, gadis ini langsung mau memberikan kontak We Chat-nya padanya.

"Dia yang menyanggupi untuk mengadopsiku, dia harus bertanggung jawab."

***

Senin, 24 April 2023

Semua platform, klik link di bio.

Yesseh: Y System's CoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang