7. Mukalaf dan Tidak Mukalaf

167 30 13
                                    

"Selamat pagi, Ayang."

"Pagi, Baby Girl." Yesseh memegang belakang leher dan meregangkannya.

Co-front maupun co-consciousness membuat kami bisa saling mendengar dan berbicara satu sama lain. Makanya dia memilih mengontrak satu rumah seperti ini agar kami bisa leluasa berkomunikasi.

"Kemaren aku bikin janji temu dengan Dokter Syifa," ucapnya mengaduk kopi hitam Pagaralam yang baru dia seduh dan menimbulkan bunyi denting yang merdu.

"Ayang ada jadwal apa lagi abis itu?" tanyaku setelah aku memberinya semangat untuk mengikuti sesi itu dengan baik.

"Dance doang nanti sore."

"Jangan lupa bilang makasih ke Bang Reyndra." Aku mengingatkannya untuk berterima kasih pada orang yang telah memberikan bukunya pada kami.

"Iya, Baby Girl."

Kami mendengar suara pintu yang diketuk, Yesseh memakai jilbabnya setelah memastikan siapa yang ada di luar melalui kaca jendela, membuka kedua pintunya lebar-lebar dan mempersilakan tamu kami duduk.

"Jadi, memang sendiri di sini?" tanya Bapak pemilik rumah yang kami sewa.

Yesseh merentangkan kedua tangannya. "Semuanya ada di sini."

"Kalau ramai kan bisa lebih hemat."

Si Bapak tidak paham dengan apa yang Yesseh maksud, tentu saja. Aku akan lebih terkejut kalau ternyata beliau paham.

"Uang tidak seberapa dibandingkan sebuah kenyamanan, Pak. Saya tidak bisa cocok dengan sembarang orang." Yesseh menaruh segelas air putih di meja karena si Bapak menolak dibikinkan teh ataupun kopi. Katanya hanya mampir sebentar di sini.

Yesseh menanyakan apa maksud beliau datang berkunjung, tak mungkin masalah uang karena sewanya sudah dibayar lunas. Ternyata bapak itu mengeluarkan scrap book milik putrinya yang meminta tanda tangan.

Yesseh membuka buku itu dan mencari di bagian mana yang harus dia tanda tangani. "Saya harus tanda tangan di antara foto Seokjin dan Suga?" Dia terus membalik dan akhirnya bertemu dengan kumpulan fotonya, dia membubuhkan tanda tangannya di sana.

Dia menyerahkan scrap book itu kembali. "Anak Bapak cewek?"

"Anak Bapak cewek?" Aku mengulangi kalimat itu dengan nada yang kesal.

"Iya, cewek." Bapak itu mengangguk.

"Anak bapak tahu kan kalau Yesseh itu cewek?"

"Baru tahu."

Aku selalu mengulangi ucapan Yesseh dengan kesal di belakang sini sehingga Yesseh harus menahan tawanya.

"Kenapa senyum-senyum Bapak lihat dari tadi?"

Yesseh sengaja tidak menjawab pertanyaan itu dan mengalihkan percakapan hingga si Bapak pamit pulang.

Aku langsung mengajak Yesseh bertengkar. "Kenapa nanyain anak bapaknya, hah?"

Dia terbahak. "Astaga, Baby Girl. Aku basa-basi."

Yesseh: Y System's CoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang