24

571 44 1
                                    

Setelah lama menunggu di dalam ruang Kepala Divisi Produksi, Rena akhirnya muncul. Dengan raut bingung, ia duduk di sofa seberang sofa yang ditempati Risa. Risa sendiri tidak ingin berpandangan dengan wanita itu, maka setelah memandang sekilas ia melarikan pandangannya kepada atasannya yang merupakan pria bertubuh tambun berkepala 50'an itu.

"Kenapa memanggil saya, Pak?" Tanya Rena, setelah tatapan bingungnya kepada Risa diabaikan.

"Aku dan Watanabe-san membicarakan banyak hal mengenai cabang perusahaan kita di Osaka." Jelas pria berwajah ramah itu. "Di sana si Manajer Divisi Produksi nya akan naik jabatan dan sedang mencari pengganti. Watanabe-san menyarankan saya untuk menarik pegawai dari sini untuk menempati posisi itu ..."

Wajah Rena berubah tak nyaman. Risa sendiri tampak tenang di tempatnya meski ia merasa gugup.

"Kita butuh pegawai dengan dedikasi tinggi pada perusahaan kita untuk menjadi manajer dan kami sepakat kalau kau orang yang tepat menjadi manajer di sana."

"A-apa? Saya, Pak? Tapi ... kenapa harus saya? Masih banyak pegawai yang lebih berdedikasi daripada saya." Ucap Rena terdengar tak terima.

"Kau jauh lebih tahu soal sistem kerja di perusahaan kita, Moriya-san." Risa akhirnya membuka suaranya. Menatap Rena menusuk dengan raut kaku. "Akan lebih baik bila pegawai sepertimu juga ada di cabang Osaka dan berada di posisi yang tepat. Selama ini kau hanya menjadi asisten manajer, sayang kan bila kau terjebak di posisi itu terus-terusan. Padahal kerja kerasmu bahkan melebih kerja kerasku. Ini kesempatanmu untuk maju satu langkah pada karirmu. Jangan sia-sia kan."

Risa dan Rena beradu pandang sebelum dihentikan oleh suara tawa berat di antara mereka.

"Benar, benar sekali! Watanabe-san ini tahu caranya menjelaskan dengan tepat!" Ujar pria itu. "Nah ... Moriya-san, jangan berpikir lama-lama untuk mengambil kesempatan ini, nanti kau menyesal."

"Osaka sangat jauh ..." Rena berusaha memberi alasan.

"Meski jauh tapi Osaka hampir sama dengan Tokyo." Sahut Pak Kepala Divisi, lalu terkekeh. "Palingan kau hanya perlu sedikit belajar dialek Kansai."

Rena sudah tidak bisa menolak lagi.

Keluar dari ruang Kepala Divisi, Risa berjalan lebih depan dari Rena. Mereka menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja mereka. Saat itu sedang sepi. Semua orang sedang sibuk bekerja.

"Kau berusaha menyingkirkanku kan?" Sindir Rena di belakangnya.

Risa tidak mau menghiraukannya.

"Kau pikir aku tidak bisa membalasmu?"

Bagi Risa, Rena hanya berbicara omong kosong saja. Toh dia tidak akan berani melakukan apa pun padanya karena itu juga berdampak pada citra wanita itu sendiri.

Ia tak peduli itu. Yang penting wanita itu tidak akan mengganggu kehidupannya lagi.

Namun Rena tetap mengganggunya untuk terakhir kali dengan mengirim pesan mengenai perselingkuhan mereka pada Yui.

Saat itu, Risa mungkin akan mengakui semuanya saat ditanya Yui, akan menerima cacian dari Yui, dan akan menerima keputusan Yui atas kesalahan yang dilakukannya. Akan tetapi besok harinya Yui bertingkah seperti biasanya, seakan tidak pernah menerima pesan itu. Padahal matanya bengkak karena menangis semalaman.

Risa sendiri merasa bingung mengingat pesan dari Rena tidak ada di ponsel Yui. Sebenarnya Yui tidak menerima pesan itu atau Yui menerima pesan itu namun dihapusnya?

Risa tidak tahu. Tapi selama Yui tidak menyinggung soal perselingkuhannya, ia tidak akan membicarakan itu.

Yui terlihat tampak baik-baik saja sekarang ... Iya, semuanya baik-baik saja bila Risa tidak lebih dulu menyingungnya. Yang terpenting sekarang adalah untuk terus bersama Yui.

ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang