29

572 48 4
                                    

Karin sampai di rumah sakit dan masuk ke ruang inap yang ditempati Hikari. Ruang inap itu khusus untuk satu orang.

Hikari berada di atas bangsal. Punggungnya bersandar di kepala bangsal. Wajahnya pucat, pergelangan tangan kirinya dibaluti perban dan punggung tangan kanannya tersambung infus. Meski sosok Karin berada di dekatnya, Hikari tak sekalipun mau menolehkan pandangannya dari jendela kaca ruang inap.

Karin sendiri diliputi rasa penyesalan.

"Kau tak perlu menjengukku." Sindir Hikari bercampur kecewa.

"Aku pasti akan datang meski kau melarangku." Sahut Karin. Kini sudah berdiri di samping bangsal.

"Kenapa? Bukannya kau tidak mencintaiku? Kau tidak perlu seperhatian itu pada orang yang tak kau cintai."

"Aku hanya ingin membicarakan soal pernikahan kita ..." Karin mengabaikan ucapan Hikari barusan. "Undangannya sudah selesai. Sesuai rencana awal, kita akan membagikan undangan itu satu per satu. Tapi aku juga tak ingin memaksamu untuk ikut ... Biar aku saja."

"Aku tidak mau menikah ... " Lirih Hikari. Air matanya kembali jatuh. Ia pun memandang Karin. "Kita tidak perlu menikah ... Semua itu akan sia-sia. Sampai kapan pun kau tidak akan bisa mencintaiku."

Karin diam sejenak. Ia menunduk, menghela napas, lalu memandang Hikari yang telah banjir air mata.

"Maafkan aku karena berpikir ingin meninggalkanmu." Sesal Karin. "Aku selama ini memang keterlaluan. Maafkan aku."

Hikari semakin terisak. Karin ingin meredakan tangisan Hikari, tetapi Hikari menghentikannya.

"Bisa tinggalkan aku sendiri?" Pinta Hikari.

Karin tidak punya pilihan lain. Ia pun keluar dari ruang inap dan terduduk di bangku tunggu. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Air mata tiba-tiba saja mengalir.

Ia memang sulit mencintai Hikari, tetapi ia sulit melepaskan Hikari. Ia tidak bisa membayangkan jika mereka tidak bersama lagi. Mungkin ia tidak akan pernah melihat Hikari selamanya dalam waktu dekat jika ia menuruti kemauan Hikari. Hanya dia yang bisa melindungi nyawa Hikari. Mungkin mereka memang ditakdirkan untuk bersama meski rasa cinta hanya dilakukan pada sepihak.

Ponselnya berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk. Ia segera meraup wajah, menyeka sisa air mata di pipi, ia menyugar rambutnya, lalu mengambil ponsel di kantong celananya dan mengangkat panggilan telepon itu.

"Fujiyoshi-san, semua kartu undangannya telah kami siapkan. Apa kami perlu mengantarkannya ke rumah Anda melalui pos atau Anda ingin mengambilnya sendiri di kantor kami?"

"Biar saya yang mengambilnya di kantor Anda." Karin bangkit dari bangkunya. "Saya ke sana sekarang."

.

Sebelum Yui menutup salonnya, sebuah mobil sedan yang tak asing berhenti di depan salonnya.

Tak lama seseorang keluar dari sana. Benar, itu mobil milik orang yang sangat ia kenali.

Risa masih dengan pakaian kantornya dan rambut yang disanggul sedang mendekati Yui.

Yui sempat terdiam. Tak tahu mau bereaksi seperti apa. Sudah tiga hari ia tak bertemu wanita itu. Rasanya asing dan canggung. Padahal dulu mereka sangat dekat.

"Aku ingin memotong rambutku." Risa memulai obrolan.

"Kau tak lihat? Aku hendak menutup salon." Sahut Yui, meski tidak ada maksud mengusir wanita itu.

ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang