21

672 48 3
                                    

"Karin-chan, coba lihat ke sini."

Karin yang sedang meletakkan nampan berisi seteko teh dan dua cangkir di atas meja pendek memutar tubuhnya.

Yui yang duduk di atas meja kerja Karin menutup wajahnya dengan kamera instan berwarna hijau pastel. Jari telunjuknya menekan shutter, dan ... cekrek. Lembar foto keluar perlahan dari atas kamera. Yui pun menurunkan kamera, ia mengambil foto polaroid itu dan tertawa geli melihatnya.

Karin mendengus. Ia mendekati wanita yang kini sedang mengayun-ayunkan kakinya yang hanya berbalut jins pendek milik Karin yang pas di pahanya. Padahal jika Karin yang memakainya, celana itu agak longgar. Yui juga mengenakan kemeja putih besar milik Karin yang bila dilihat semakin dekat, bra hitam di balik sana samar-samar tampak. Rambut sepunggung cokelat terangnya ia ikat bun asal-asalan.

Ia mengambil lembar foto itu dari tangan Yui. Ia menekuk wajah saat Yui kembali tertawa.

"Kau selalu memfotoku di saat aku sedang tidak siap." Keluh Karin saat memandang fotonya sendiri di mana pandangannya tepat pada kamera dengan mulut agak menganga. Menurutnya dia jelek sekali.

Namun dari semua itu, ada yang membuat Karin sangat sebal.

"Apa-apaan memanggilku dengan sebutan chan?"

Yui terkekeh. "Kenapa? Tidak suka?"

"Aku tidak biasa dipanggil dengan sebutan itu. Bahkan tak banyak orang yang memanggil nama depanku."

"Tapi Ten-san memanggilmu Karin-chan."

"Kalau dia, aku tak bisa menghentikannya."

Senyuman usil terulas di bibir Yui. Ia menarik kaus yang dikenakan Karin membuat mereka hampir tak berjarak. Kemudian kedua tangannya tersanggah di kedua bahu Karin dan melingkar di leher wanita itu.

"Jadi kau mau kupanggil apa? Sayang?" Goda Yui.

Semburat warna merah pun muncul di kedua pipi Karin disusul tawa renyahnya.

"Aku suka itu." Kata Karin, balik menggoda Yui. Kedua tangannya memegang sisi pinggang Yui. "Ayo, panggil aku sayang."

Bukannya dipanggil sayang, Yui malah menepuk jidat Karin.

"Enak saja!" Semprot Yui, kesal. "Aku dan pasanganku saja tidak memilik panggilan sayang."

Raut wajah Yui bisa berubah secepat shinkansen.

"Kok bisa?"

"Entah ..." Yui mengangkat bahu. "Mungkin karena kami sama-sama tidak romantis ... Aku bahkan tidak mau memanggilnya sayang karena terdengar menggelikan. Kupikir dia juga berpikir demikian. Jadi kurasa nama depan saja sudah cukup."

Karin mengangguk-angguk paham.

"Kau sendiri? Punya nama panggilan bersama tunanganmu?"

"Dia sering memanggilku sayang. Tapi aku sepertinya hampir tidak pernah memanggilnya sayang."

"Kok kau begitu sih? Jahat sekali! Kalau aku jadi tunanganmu, pasti aku sudah meninggalkanmu!"

Karin tertawa mendengarnya.

"Aku juga merasa memanggil dengan nama depan sudah cukup sebagai bukti hubungan kami."

Yui memincingkan matanya. "Itu kan karena kau masih belum sayang dengan tunanganmu, makanya kau tidak mau memanggilnya sayang."

Karin hanya menggedikkan bahu.

"Kalau denganku, kau mau memanggilku sayang?" Tanya Yui, dengan sedikit godaan.

ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang