CHAP I

2.8K 137 11
                                    

Menuju tiga puluhan mungkin usia keemasan bagi sebagian pria, karena di usia itu kematangan dalam berpikir dan material sudah bisa dikatakan seimbang, tidak perlu memikirkan pasangan karena masih dianggap terlalu dini untuk membina rumah tangga, tidak masalah kalau masih lajang. Tapi tentu tidak bagi perempuan.

Usia menuju tiga puluh adalah waktu dimana harus siap mental dan fisik menghadapi gempuran dunia, apalagi kalau masih melajang dan tidak ada gandengan, batin harus kuat menghadapi omongan keluarga , kerabat dan paling parah tetangga.

Hal itu yang saat ini di rasakan oleh Hinata, gadis cantik ( Begitu kata Ibu dan Ayahnya ), dari keluarga sederhana, seorang karyawati salah satu perusahaan forwarding swasta di Ibu kota.

Tidak ada yang istimewa darinya, bagi Hinata, ia hanya gadis biasa.

Terlahir dari keluarga harmonis pinggiran kota Jakarta, hidup dalam berkecupan, dengan lima anggota keluarga, ada Bunda dan Ayah, abang tertua dan adik perempuan yang saat ini masih menumpuh pendidikan serjana.

Tidak ada yang salah dalam hidupnya, semua mengalir begitu saja, karir kerjaan baik, bahkan tahun lalu dirinya sudah di promosikan menjadi Supervisor di divisinya, keuangan bisa di katakan stabil juga, masih bisa foya-foya, menabung dan untuk orang tua, kehidupan sosial bisa di katakan aman, tidak ada yang perlu di khawatirkan.

Namun semua perlahan berubah saat menginjak usia 27 tahun, terlebih lagi saat sang abang memutuskan menikah setahun yang lalu dan memilih tinggal terpisah dengan keluarga.

Mulai saat itulah hidup damai yang dirasakan gadis itu, lambat laun terasa berbeda.

Tentu faktornya bukan dari dirinya, tapi datang dari keluarga terutama kedua orang tua dan tetangga. Apalagi bunda yang tiap hari selalu menyindir halus, pagi ,siang dan malam tidak ada habisnya, ingin rasanya Hinata hidup terpisah juga seperti abangnya, tapi sang dara tidak tega untuk meninggalkan orang tuanya yang sudah mulai renta, apalagi adik bungsunya juga masih lagi di tahap sibuk dengan tugas kuliahan.

********

Pagi itu Hinata sudah rapi dengan kemeja soft lilac dan celana panjang hitamnya, duduk di meja makan untuk sarapan.

"Jadi kapan mau menikah Nat, Bunda sudah malu sama tetangga di sindir terus, itu anak gadis bu Tety aja baru 25 sudah nikah, kamu kapan ? " Hinata memutar bola matanya bosan, lagi dan lagi, selalu pertanyaan yang sama, rasanya kuping gadis itu mulai berasap, paginya yang harusnya aman tentram dengan sarapan Nasi goreng kampung ala tangan sendiri, jadi tidak selera dia makan.

"Haduh Bunda, ini sudah ke seribu kali loh Bunda nanya ginian mulu, Nata sudah hitung, genap seribu " Gadis itu membalas cuek sambil menyendokan nasi kedalam mulut, sedangkan ayahnya di sofa dengan koran di tangan hanya tersenyum geli, sudah hapal dengan tabiat istri dan sang putri.

"Ya habisnya, dibawa atuh calonnya kerumah, udah mau 30 loh, apa nggak malu sama teman-teman kamu sudah pada gandeng bocah semua" Hinata mengangguk-anggukan kepalanya paham

"Iya Bun, nanti ya, kalau ada Nata bawa pulang, di inepin juga nanti sekalian, hahaha" Guyon gadis itu yang makin membuat ibunya kesal.

"Serah kamu Nat, Bunda capek ati" Jika Bundanya sudah dalam mode terserah begini, Hinata tidak punya pilihan lain selain kabur ngantor segera dan melarikan diri.

Gadis itu buru-buru menyelesaikan sarapannya, meraih tas di meja dan berpamitan.

"Nata duluan ya Bun, Ayah". Pamitnya

Dibalas anggukan oleh Ayah dan Bundanya."Ati-ati bawa motornya Nat, makanya cari suami biar ada yang nganterin ngantor"

Bundanya yang masih tidak mau lepas dari topik pernikahan. Hinata menghela napas lelah dan keluar dari rumah.

Nikah Yuk Hin ?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang