Bagian 17

1.1K 60 5
                                    



Wasiat Cinta

*

*

Undangan Kampus

* * *

Hari yang semakin cepat berlalu, tapi meninggalkan kisah yang belum selesai.

Sudah hampir dua minggu hubunganku dengan Mas Ali masih stuck, belum ada kemajuan.

Ngomong-ngomong setelah kepergoknya Mas Ali dan Mbak Devina waktu itu, tak ada banyak yang berubah malah semakin memperburuk.
Aku yang enggan mendengar penjelasan dia, dan dia yang tidak berusaha membujukku.

Pernah beberapa kali Mas Ali meminta aku untuk mendengar penjelasan pristiwa itu, dan aku menjawab tak ingin mendengar apapun saat itu, Mas Ali menyerah begitu saja, mengatakan jika dia memaklumi apa yang sedang terjadi saat ini, "Saya tau kamu kecewa, tapi tolong satu sakali saja dengarkan. Bisa berjanji? Nanti jika sudah siap mendengarkan, saya tidak akan mengelak apapun, kamu berhak tau semaunya" katanya, lalu pergi meninggalkanku sendiri di kamar dan dia berangkat bekerja.

Dan tentang kabar kehamilanku, harus ditunda sampai hari ini. Aku tak tau hal apa yang Mas Ali katakan kepada keluarganya, karena beberapa saat lalu Ayah Bima menelpon akan datang besok malam, katanya ingin merayakan atas kabar kehamilanku. Dan aku tak tau harus merespon seperti apa, biarlah berjalan dengan sepertinya, aku lelah.

*

*

"Lhoo?? Kok makannya dikit banget, Neng?" Suara Ayah Bima terdengar mengintrupsi aku yang tak bersemangat untuk memasukan makanan kedalam mulutku.

Aku mengadahkan kepalaku dari tundukan, menatap Ayah Bima dengan tatapan bingung, "Eh? Enggak kok, Yah. Tadi aku udah ngemil banyak makanan jadi agak kenyang sekarang" Jawabku seadanya dengan tersenyum paksa.

Sekarang kami sedang makan malam bersama dirumahku. Ah, maksudku dirumah Mas Ali.
Lengkap dengan keluarga Ayah Bima saja, tidak dengan sepupu yang lainnya saat pertama kali aku diperkenalkan dikeluarga ini. Tapi masih membuatku tak nyaman karena tentu saja ada Mbak Devina selaku istri dari Bang Alsyad, anak pertama Ayah Bima.

"Kamu ada keluhan, Neng? Udah periksa kedokterkan?" Aku terkesiap, menatap Ibu mertuaku yang bertanya. Ah, semenjak tau kehamilanku sepertinya hatinya sedikit luluh, tidak sejutek saat pertama aku jadi menantunya.

Aku mengangguk dua kali, "Udah kok, Bu. Allhamdulillah baik-baik aja, gak ada keluhan apapun" Jawabku sopan, atau segan?

"Nanti kalo ada apa-apa kamu tinggal bilang sama Ibu. Jaga cucu, Ibu ya?" Aku mengangguk, dengan sedikit kerutan didahi. Mengapa ucapannya aneh sekali? Dia baik bukan kepadaku? Hanya pada cucunya yang sedang ku kandung saja?

Kenapa keluarga ini jahat sekali?

"Iya, Bu. Kan anak aku juga, pasti aku jaga baik-baik" ujarku, tersenyum paksa lagi.

Ibu mertuaku tersenyum tulus, "Kamu tau? Saat hamil Ali, Ibu gak pernah merasa kerepotan. Saat dalam kandungan dia tidak menyusahkan Ibu, makanya sampai sekarang Ali itu jadi anak yang baik dan penurut, tapi saat memutuskan untuk menikah dia malah ingin tinggal terpisah, udah Ibu paksa tapi tetep aja gak mau. Bed — "

Tang!

Tiba-tiba suara sondok yang di jatuhkan pemegangnya terdengar nyaring.
Kami serentak menatap asal suara itu, ternyata Bang Alsyad.
Baru kali ini aku menatap matanya dengan kilatan emosi tertahan, berdiri dengan hembusan nafas dalam, lalu menatap ibunya sendiri dengan tatapan tajam.

Wasiat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang