57. Hanya Sahabat

47 11 0
                                    

Di bawah meja, kedua tangan Grace semakin mengepal dan ia tanpa sadar menggigit bagian dalam bawah bibirnya. Ia ingin berkata jujur. Ia juga sudah lelah menyembunyikan dan menahan perasaannya terhadap Adro selama ini. Namun seperti yang ia katakan tadi, manusia harus bisa mengendalikan efek yang timbul dari perasaannya.

“Aku menyayangimu, Adro, sebagai sahabat.” Jawab Grace selembut mungkin seraya terus mengucapkan kata ‘maaf’ di dalam hati.

“Grace,” Adro memberi nada tidak terima. Ia percaya Grace masih berbohong.

“Adro, aku mohon dengarlah,” Grace segera melanjutkan bicaranya sebelum Adro memberi bantahan lain. “Aku tidak bermaksud sok tahu tentang dirimu, namun, cobalah kau pikirkan lagi dengan tenang, sebenarnya apa yang kau benar-benar rasakan di hatimu? Saat ini, kau baru saja menjalani kehidupan baru di dunia baru – Kau terpisah dari keluarga dan calon istrimu. Hidupmu berubah 180 derajat. Tidakkah kau berpikir bahwa sekarang kau mungkin hanya sedang bingung? Mungkin kau merasa seperti ini terhadapku karena aku adalah orang pertama yang terus menemanimu sejak kau terdampar di dunia ini,”

Penjelasan Grace membuat Adro bungkam. Ia terdiam dengan tatapan terjatuh pada meja mereka yang masih kosong. Sedetik kemudian, pramusaji datang meletakkan pesanan mereka untuk memenuhi meja tersebut.

‘Ia berusaha mendorongku pergi,’ Pikir Adro di dalam hati.

Kelihatannya, perasaan Adro terhadap Grace benar-benar hanya mengalir dari satu arah. Ia salah telah berpikir bahwa Grace mungkin sudah menumbuhkan perasaan untuknya hanya karena gadis itu membalas ciumannya kala itu. Ia terlalu naif dan depresi untuk mendapatkan cinta gadis itu hingga tidak bisa menerima fakta bahwa Grace melakukannya karena ia sedang mabuk. Padahal, Grace sudah mengatakan bahwa ia tidak pandai minum.

Adro telah salah melangkah. Seharusnya ia tidak terlalu percaya diri seperti ini hingga dengan cerobohnya menyatakan perasaannya terhadap Grace, meski tidak secara langsung. Ia telah membuat Grace tidak nyaman dan mungkin merasa takut padanya.

‘Aku harus melakukan sesuatu agar ia tidak mengusirku. Ya, itu benar – Itulah yang terpenting sekarang. Kami harus tetap tinggal bersama. Aku tidak ingin jauh darinya. Aku masih ingin dekat dengannya, setidaknya secara fisik. Tidak apa jika ia tidak mencintaiku. Aku akan membuatnya mencintaiku perlahan-lahan, bahkan jika itu membutuhkan waktu bertahun-tahun.’ Pikir Adro.

“Terima kasih,” Ucap Grace pada pramusaji yang baru selesai menata makanan mereka di atas meja.

“Sama-sama. Selamat menikmati,” Ucap pramusaji itu sebelum pergi.

“Grace,” Panggil Adro, membuat Grace kembali fokus padanya. Ia membuat senyum miring dan menaikkan satu alisnya tinggi. “Aku mungkin sudah gila, tapi aku rasa aku harus mempertimbangkan ucapanmu,”

“Y-ya?” Grace tersenyum bingung.

“Penjelasanmu sangat masuk akal. Aku akan mencoba memikirkannya kembali, terutama saat liburan nanti. Aku baru terpikirkan bahwa selama ini otakku agak lelah karena bekerja – mungkin itu berpengaruh pada perasaan dan emosiku,” Jelas Adro bersemangat. “Terima kasih sudah membantuku berpikir lebih jernih, Grace. Maaf telah membuatmu merasa tidak nyaman,”

Senyum lega mengembang di bibi Grace. “Itu sungguh tidak masalah, Adro. Mungkin emosiku juga akan naik turun saat aku baru memasuki dunia kerja nanti,”

“Kekonyolanku mengacaukan perayaan kelulusanmu,” Adro tertawa kecil, lalu mengangkat gelas anggurnya ke depan. “Bersulang untuk kelulusan Putri Seni, Grace Menken,”

“Itu adalah sebutan yang berlebihan,” Grace terkekeh geli sembari mengangkat gelas anggurnya, kemudian mendentingkannya dengan milik Adro.

“Aku bangga padamu, Grace. Aku akan selalu mendukumu hingga sukses dan terus berada di sampingmu sebagai sahabat terbaikmu,” Ucap Adro setelah menyesap anggurnya.

(TAMAT) The Groom From The Fairy-Tale LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang