25. Kecewa

54 13 0
                                    

Adro membuka pintu besar mansion itu. Sinar matahari menembus lubang-lubang di atap dan jendela-jendela besarnya hingga menerangi setiap ruangan di dalamnya.

“Hati-hati,” Ucap Adro seraya menuntun Grace masuk.

“Ini adalah ke dua kalinya aku datang ke sini, dan aku semakin menyadari betapa indahnya mansion ini,” Gumam Grace seraya menatap luas ke sekeliling.

“Di kerajaanku, mansion seperti ini biasanya dimiliki oleh saudagar kaya atau mantan bangsawan,” Ucap Adro.

“Mantan bangsawan?” Ulang Grace.

“Bangsawan yang statusnya dicopot karena suatu kejahatan atau karena menikah dengan rakyat biasa,” Jelas Adro.

“Oh, aku pernah mendengar tentang itu,” Sahut Grace dengan gumaman. Kemudian ia menoleh pada sebuah pintu terbuka. Itu adalah dirinya dan Adro yang saat itu membukanya dan tidak menutupnya lagi. “Itu jalan menuju ke bawah,”

Kedua orang itu menatap ke bawah tangga yang cukup curam dan sempit itu. Tanpa direncanakan, Grace meneguk liurnya.

“Aku rasa kau tidak akan bisa turun sendiri dalam kondisi kaki seperti itu,” Ucap Adro.

“Aku rasa begitu,” Gumam Grace, tetap menatap ke bawah.

“Bagaimana jika aku menggendongmu?” Tanya Adro.

“A-apa? Ta-tapi itu agak...” Grace perlahan memalingkan wajahnya yang ia pikir mungkin terlihat tersipu sekarang.

“Cara satu-satunya membawamu turun adalah dengan menggendongmu. Jika kau keberatan dengan itu, maka kau bisa menunggu di sini sementara aku memeriksa di bawah,” Ucap Adro.

Berpikir beberapa saat, Grace kemudian menggeleng kecil. “Baiklah. Aku akan turun,”

“Itu artinya aku harus menggendongmu,” Adro menegaskan lagi. “Apa itu tidak apa?”

“Aku sudah berjanji padamu akan membantumu kembali ke duniamu. Lagipula, aku lebih memikirkan kau yang harus keberatan menggendongku dengan membawa tongkat berjalanku. Itu akan merepotkan,” Sahut Grace pelan.

“Kau tidak perlu memikirkanku. Ini semua adalah hal ringan bagiku,” Ucap Adro. Lalu dengan sopan, ia mengambil kedua tongkat berjalan Grace. “Naiklah ke punggungku,”

Diam-diam, Grace menarik napas dalam untuk mengatur detak jantungnya. Jujur saja, selama hidupnya, ia tidak pernah sedekat ini dengan seorang pria, bahkan semua mantan kekasihnya yang selalu berujung hanya memanfaatkan dirinya dan menyelingkuhinya saja.

Dalam hal fisik, Grace pernah merasakan berpelukan dan berciuman. Namun, tidak ada yang pernah menggendongnya seperti ini. Jika ia pikirkan ulang, selama ini, selalu dirinya yang memberikan pelukan dan ciuman. Para pria itu... mereka tidak pernah melakukan sesuatu atau bersikap manis padanya.

Kini ketika seorang Adro bersedia menggendongnya, menjaganya agar tidak terjatuh, dan selalu meminta ijin atas hal-hal kecil membuat Grace tidak kuasa merasakan kumpulan bunga bermekaran di dalam hatinya, meski ia tahu bahwa Adro melakukan itu bukan karena ia menyukai Grace, melainkan hanya karena sifat dasarnya yang sopan. Grace pun tidak boleh melupakan bahwa Adro sudah memiliki calon istri yang sedang menunggunya.

Ketika Adro mengatakan bahwa menggendong Grace sekaligus membawa tongkatnya sambil menuruni tangga adalah hal yang ringan, ia tidak hanya berbicara besar. Pria itu melangkah menuruni tangga tanpa terlihat kesulitan sama sekali.

Sesampainya di bawah, Adro menurunkan Grace dari gendongannya. “Lantai di tempat ini tidak rata dan banyak balok kayu berserakan. Tolong perhatikan langkahmu,”

(TAMAT) The Groom From The Fairy-Tale LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang