Bulan penuh bersinar terang hingga cahayanya cukup untuk menerangi sebuah ruangan kerja yang diisi oleh tiga orang.
Adro telah menyiapkan semua perlengkapan yang Suzan minta, yaitu sekotak kapur, gerabah kecil, dan tentu saja, pintu, yang berjumlah dua buah.
Sebuah simbol segitiga dengan sisi tertajamnya menghadap ke pintu ruang kerja Adro menjadi goresan terakhir kapur yang Suzan toreh di atas lantai. Kini, lantai kayu ruang kerja itu memiliki sebuah simbol aneh berukuran cukup besar di tengah-tengahnya.
“Dari pintu ini, kalian akan menyebrang ke dimensi lain,” Suzan menunjuk pintu ruang kerja itu, lalu beralih menunjuk pintu toilet yang berada di sisi lain ruangan, “Dari pintu itu, kalian akan kembali ke sini.”
Selesai mendengar penjelasan Suzan, Adro dan Grace bangkit berdiri dari posisi duduk mereka di sofa. Adro menoleh pada Grace, sedikit menahan napas. “Kau yakin ingin ikut?”
Meski sedikit takut, Grace mengangguk yakin. “Ya.”
“Tidak satupun dari kita ada yang mengetahui apa yang sedang terjadi di duia itu. Kita juga tidak tahu apakah kalian bisa menemukan penyihir pintu yang akan menyambungkan pintu dari dunia itu ke dunia ini,” Jelas Suzan sambil menatap pasangan itu. “Poinnya adalah kalian bisa masuk ke sana, namun belum tentu bisa keluar.”
Menarik napas dalam-dalam, Grace menatap Suzan dengan tegas. “Aku sudah berkata, yang aku miliki sekarang hanyalah Adro. Aku tidak peduli apakah kami bisa kembali ke sini atau tidak. Selama kami terus bersama, aku tidak memiliki masalah.”
Suzan mendecak sambil menggeleng kecil. “Hm, aku mengerti. Jadi kau adalah tipe wanita yang seperti itu, yah – Mencintai seorang pria dengan segenap jiwamu,”
“Aku juga akan melakukan segalanya untuknya.” Adro membalas ucapan Suzan.
“Yah… Tidak bermaksud menyudutkan salah satu pihak, namun yang sering aku temui adalah pria yang mengkhianati kepercayaan wanitanya,” Suzan menggidik bahu seraya tertawa kecil. “Aku bercanda,”
“Aku sudah membayarmu mahal. Berhenti bicara omong kosong dan bukakan portalnya.” Ucap Adro, menekan kalimat akhirnya.
“Baiklah … Baiklah. Kau harus ingat bahwa ini belum tentu berhasil karena ini adalah pertama kalinya bagiku melakukan sihir ini. Aku tidak bertanggungjawab jika kalian terpental ke dunia lainnya.”
“Aku menerima semua resiko itu.” Ucap Adro datar seraya mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Grace dan pada gagang pedangnya.
“Baiklah. Sekarang, jangan buat suara sedikitpun. Aku membutuhkan konsentrasi penuh untuk melakukan ini.” Ucap Suzan.
Dalam kesunyian, Suzan duduk di tengah-tengah simbol sihir besar yang ia gambar. Ia membuka sebuah buku mantra buatannya sendiri yang berisi rangkuman-rangkuman mantra yang tercecer di dalam buku resep.
Sambil mengucap mantra itu, Suzan mengambil gerabah keramik yang telah ia isi dengan bubuk kapur dan campuran bubuk berbagai tumbuhan dan hewan pengerat yang telah dikeringkan. Setelah mengaduk semuanya, ia bangkit dari posisi duduk bersilanya menuju pintu ruang kerja yang berada di hadapannya dan membalurkan ramuan tersebut pada sekujur bingkai pintu itu.
Kembali duduk di posisinya semula, Suzan terus mengucapkan mantra lebih cepat dari sebelumnya. Nampak bola mata wanita itu bergerak-gerak secara liar di balik kelopak matanya yang tertutup. Keringat mulai membasahi pelipisnya hingga akhirnya mengalir turun bembasahi wajah dan lehernya.
Tiba-tiba, muncul asap putih dari celah-celah kedua pintu yang sudah dibalurkan ramuan. Lalu dari pintu pertama, muncul cahaya merah dari daun pintunya selama beberapa detik sebelum mendadak padam bagai api lilin yang ditiup.
KAMU SEDANG MEMBACA
(TAMAT) The Groom From The Fairy-Tale Land
Romantiek#WattpadfantasiID [Follow dulu yuk!] 'Jika satu pintu tertutup, masih ada seribu pintu terbuka.' Untuk ke sekian kalinya, Grace Menken disakiti oleh pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya. Hidup sebatang kara, dikucilkan, dan kerap putus cint...