Ρ

448 12 0
                                    

RHO

Huruf ke-17 dalam alphabet Yunani
*ingkatan dari "densitas", "resistivitas", dalam fisika

ρ

Lembaran berwarna merah berjatuhan dari lubang amplop. Raka tidak berniat menghitungnya, dia tau jumlahnya lebih dari sepuluh juta.

"Sialan," umpat Raka sambil melempar uang itu ke dalam laci bersama lembaran merah yang lain, lalu menghentakkan pintu laci secara kasar. Jika dia tega, mungkin uang itu sudah dia buang ke dalam tempat sampah.

Raka baru saja ingin meremas amplop coklat itu ketika sebuah kertas terjatuh dari sana. Itu adalah sebuah surat.

Tolong, jangan buang surat ini ke tempat sampah! Papa mau bilang sesuatu yang penting menyangkut masa depan kamu.

Raka menahan emosinya dengan bibir terbungkam. Matanya yang memerah menatap berisan kalimat yang tertulis di dalam sana.

Papa tau kamu tidak akan mau membaca pesan-pesan papa dan juga menjawab telepon papa, karena itulah papa memilih untuk mengirim surat ini.

Saat ini Papa masih di Singapura. Papa akan pulang bulan depan dan bawa kamu ke rumah baru.

Papa sangat sedih mendengar tentang kepergian ibu kamu.

Tangan Raka bergetar.

Papa minta maaf karena saat itu tidak ada di samping kamu ketika Bunda meninggal. Papa di sini selalu mendoakan ....

Raka lebih dulu meremas kertas itu dan melemparnya ke tempat sampah. Dia meraup wajahnya frustasi. Sangat sulit untuk menahan air mata jatuh ketika mengingat masa lalunya, tapi dia ingat, air matanya terlalu berharga untuk seorang bajingan seperti Irfan.

Pesan anonim itu sudah tidak pernah muncul lagi. Rasa takut Denis juga perlahan menghilang semenjak ayah dan kakaknya berada di rumah.

Cukup memalukan bagi Denis setiap kali dia mengingat pesan anonim itu dan menganggapnya sebagai ancaman. Dia sama sekali tidak memikirkan kalau pesan itu hanya iseng belaka. Buktinya, pesan itu hanya muncul sekali. Karena itulah Denis memutuskan untuk tidak menceritakan kepada ayah dan kakaknya.

"Bang!" Denis melirik ke arah kakaknya yang sedang fokus memperhatikan game di layar 85 inch.

"Hah?" Davin menoleh ke arah Denis tanpa mengalihkan bola matanya dari tv.

"Ada kompetisi di sekolah." Denis pikir memberitahu Davin di jam santai seperti ini adalah saat yang tepat.

"Nggak ada kerjaan lain selain main game?" sang ayah muncul membawa secangkir teh hijau yang masih mengepul. Memotong obrolan kedua anaknya yang sedang duduk di atas sofa.

"Pa!" Davin menoleh. Sekedar menyapa sang ayah yang kini duduk di kursi goyang samping jendela.

"Mumpung di rumah, Pa. Biar otak makin encer," jelas Davin sambil memekik kesal karena mobil yang ia kendarai secara virtual hampir saja jatuh ke jurang.

"Awas, kena adiksi," jawab sang papa. "Struktur dan fungsi otak harus dijaga."

"Papa mah gitu," bantah Davin.

"Kena adiksi kalau udah kecanduan," Denis ikut bicara membuat Alex mengalihkan pandangan ke anak sulungnya itu. "Kalau cuma main sekali dua kali nggak papa. Justru bagus buat memperluas fungsi otak, terutama di bagian kemampuan motorik halus sama perancangan strategis."

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang