X

190 13 0
                                    

Benar-benar mimpi buruk bagi tim dua. Tidak begitu masalah tim satu punya mentor Pak Hasan, tapi kenapa mereka harus punya mentor guru yang tidak bisa melakukan apa-apa?

"Pak Raden udah kasih tanggung jawab ke gue buat handle semuanya," jelas Raka di tengah meeting bersama semua anggota tim dua. Mereka sengaja berkumpul setelah pulang sekolah di ruang arsip perpustakaan.

"Sialan emang tuh guru," umpat Gloria, gadis berambut pendek yang satu kelas dengan Dera dan Seli.

"Minimal Bu Jenny, lah. Meskipun dia nggak tau apa-apa tentang sains, tetap aja dia masih bisa tanggung jawab," kata Alvi. Ketua OSIS yang baru menjabat beberapa saat lalu. Selain basket, dia sangat suka belajar kimia.

"Gue dengar kabar, katanya istrinya Pak Raden lagi sakit keras," kata salah satu siswa.

"Eh, pantesan. Udah usia pensiun, tapi masih aja ngajar."

Denis sejak tadi diam. Dia ikut frustasi dengan pemilihan mentor ini. Namun dia tidak ingin galau cuma karena dipilihkan mentor tak berguna seperti Pak Raden.

"Jadi, kita mau buat apa?" tanya Denis membuat perhatian kini tertuju padanya.

Raka menghela napas. Itu adalah topik yang paling dia tunggu semenjak kesepuluh orang itu berkumpul di sini. "Menurut lo?" tanya Raka.

"Kita buat robot aja, Ka," kata Denis.

"Robot?" Bukan ide yang buruk bagi Raka. Hanya saja, dia belum pernah mencoba membuat robot seumur hidupnya.

"Susah banget, Den. Yang mudah aja, dong," protes siswi yang mengenakan bando biru muda untuk mengikat kepalanya.

Raka menyandarkan bahu di kursi. Dia berusaha merilekskan pikiran. Sejauh ini, ide-ide bermunculan ketika dia melamun.

Benar saja, Raka mengingat sesuatu.

"Lo ingat waktu kita masih SMP kita pernah buat proyek sains," Raka bicara pada Denis, tapi hampir semua orang di sana menatap ke arahnya.

"Tata kota modern," jelas Raka sebelum Denis sempat menjawab ucapannya.

"Gimana kalau kita buat proyeksi tata kota modern?" Raka bangkit agar terlihat lebih bersemangat. Persespsi yang mengatakan Raka berubah menjadi lebih pendiam selama beberapa bulan terakhir kini terpatahkan. Raka terlihat profesional, seperti Raka yang dulu ketika bundanya masih hidup.

"Ide bagus," puji Alvi sambil mengangguk patah-patah. "Pesan gue sih, nggak usah percayain hal ini sama Pak Raden. Serius!" Sudah jadi makanan sehari-hari bagi Alvi sebagai ketua OSIS untuk berurusan dengan guru kesiswaan itu. Jujur saja, Pak Raden adalah salah satu alasan dia menyesal menjabat menjadi ketua.

"Setuju gue," sahut Denis.

"Gue pernah lihat pameran di Amsterdam tentang ekosistem bawah laut," jelas Alvi. Rupanya, dia masih agak meragukan ide pertama Raka.

"Ekosistem gimana? Coba jelasin." Denis menatap heran.

Alvi membuka salah satu video di dalam ponselnya. "Ini tentang pembangkit listrik tenaga panas bumi dan nanti ada ekositem biologinya. Lo tau film The Meg, nggak? Institut bawah laut yang punya fungsi untuk menjaga sistem rantai makanan. Kayaknya keren kan kalau buat proyek kayak gitu?"

"Terus, kita harus cari hiu sama cumi-cumi di pantai gitu?" tanya cewek random dengan entitas tak dikenal yang duduk di pojok barisan.

"Iya, kita cari megalodon juga di Palung Mariana," sahut Alvi berusaha terlihat serius padahal dia berniat sarkas.

"Yakali kita cari megalodon. Menang enggak, mati iya." Alvi menggeram kesal.

Mata Denis menyipit. "Pembangkit listrik tenaga panas bumi? Harus ada zona geothermal, dong"

"Den, proyek ini cuma rekayasa. Kita nggak perlu tenaga panas bumi yang asli. Kita butuh benda atau alat yang punya kemampuan mirip seperti panas bumi untuk dipasang di papan proyek," jelas Raka.

"Susah sih kalau itu." Denis menghela napas pasrah.

Alvi mengangguk mempertimbangkan. "Lo ada saran?"

"Udah bener, kata Raka tadi," sela Gloria. "Buat tata kota modern aja."

Bukan ide buruk bagi Denis meskipun dia punya ide spektakuler lain. Hanya saja, dia tidak bisa bertanggung jawab jika pada akhirnya idenya itu tidak berhasil. "Gue sih, setuju-setuju aja. Kita bisa buat matahari buatan pakai lampu dengan tegangan tertentu. Lalu, ada pembangkit listriknya. Kayak dulu kan, Ka?"

"Ada hotelnya nggak?" tanya si cowok kurus di samping Denis.

"Kenapa lo tiba-tiba nanya hotel?" Denis menatap heran.

Raka lebih dulu bicara, "Kemungkinan gagal akan lebih kecil daripada pada kita pakai aquarium dan energi panas. Tim satu—dengan mentor Pak Hasan, pasti hasilnya bisa lebih dari ini."

"Jangan salah, Aldi tuh, jago ngoding. Buat robot masa depan pun dia bisa." Jujur saja, Denis agak kecewa karena di kelompoknya tidak ada yang bisa diandalkan seperti Aldi dalam hal seperti ini.

"Jago ngoding?" tanya Alvi dengan nada penasaran. Setaunya, pengetahun Denis tentang Aldi tidak jauh seperti pengetahuannya. Mereka sama-sama melihat Aldi sebagai tukang onar. Lantas, darimana Denis bisa tau kalau Aldi tukang ngoding?

Denis menegakkan duduknya. Dia sadar baru saja mengucapkan kata yang mencurigakan. Raka juga beberapa kali melirik ke arahnya. "Gue bisa dibagian hitung-hitungan," kata Denis untuk mengalihkan pembicaraan.

"Gue bisa dibagian kelistrikan!" Alvi menatap antusias.

"Oke, gue di bidang arsitektur," usul Raka.

"Paman gue tukang material. Dia tau bahan-bahan yang cocok!" seru salah satu siswi.

"Bagus," pekik Raka bangga. "Gue minta kerja sama dari kalian semua. Di sini kita satu tim dan musuh kita cuma satu, yaitu tim satu. Jadi, jangan ada yang berselisih pendapat di sini atau kita akan kesulitan untuk nyelesaiin proyek ini. Setuju?"

"Setuju!" Ruang arsip dipenuhi seruan penuh semangat.

"Tunggu," pekik Alvi membuat semua pandangan tertuju padanya. "Yang mau buat laporannya siapa?"

Hanya ada satu orang yang mengangkat tangan. "Gue!" Gloria hanyalah siswa biasa saja. Nilainya juga tidak tinggi dan tidak rendah. Namun keahlian yang tidak pernah diragukan darinya adalah satu, essay.

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang