XXV

16 1 0
                                    

Tidak mungkin Raka pulang ke tempatnya tumbuh remaja. Di rumah itu ada banyak sekali kenangan bersama dengan Zara ketika ibunya itu masih hidup.

Tidak mungkin juga Raka pergi ke rumah yang Irfan sebut sebagai gubuk reyot karena rumah itu sudah dijual oleh Irfan. Opsi terakhir adalah pulang ke rumah Dera.

Dan di sinilah Raka sekarang. Memarkirkan motornya di garasi setelah mendapatkan izin penjaga gerbang untuk masuk.

Air mata yang masih tersisa di pipi lebih dulu Raka hapus. Dia menahan napas di depan pintu sebelum menekan bel. Memastikan suaranya tidak akan bergetar ketika bicara nanti.

Ting tong ...

Mama Dera, Rani, datang membukakan pintu untuk Raka. Wanita itu kaget, setelah sekian lama tidak melihat wajah Raka.

"Raka!" sapa Rani. Menyentuh kedua bahu Raka seolah Raka adalah anaknya sendiri yang sudah lama sekali tidak berjumpa dengannya.

"Tante," sahut Raka. Pasrah dipeluk oleh Rani. Mendadak dia teringat akan pelukan ibunya. Tinggi badan Rani sama persis seperti Zara. Kepala mereka hanya sebatas dada Raka dan akhirrnya Raka lah yang harus mendekap Rani.

"Apa kabar, sayang? Lama banget nggak datang ke sini."

Raka mendengus. Sebenarnya belum lama ini dia datang ke rumah ini, tapi tidak berjumpa dengan Rani maupun Wiguna.

"Siapa, Ma?" tanya suara melengking dari belakang sana. Raka bisa menebaknya, suara itu milik Dera.

Rani mengajak Raka masuk. Mereka menuju ke tempat makan yang tak jauh dari ruang utama. Dera sedang makan malam bersama Wiguna.

Tidak seperti dugaan Raka, Wiguna terlihat bersemangat melihat kehadirannya. Dia sampai berdiri untuk menyalami Raka. "Raka, apa kabar?"

Namun Raka sedang tidak ingin bertindak sebagai seorang anak laki-laki kaya raya pemilik kebun sawit dan minyak  bumi. Dia datang ke sini dengan patah hati.

"Raka!" Dera menarik lengan Raka agar duduk di sampingnya.

"Kamu sudah makan malam, Raka? Kebetulan sekali, kami juga belum mulai," kata Wiguna ketika dia duduk di kursinya lagi.

Dera penasaran apa yang membuat Raka datang tiba-tiba seperti ini. Raka sama sekali tidak memberinya kabar, itu berarti bahwa sesuatu terjadi antara Raka dan ayahnya. Dera sudah tidak sabar makan malam ini berakhir dan dia akan mengunci Raka di kamar untuk diintimidasi.

Namun setelah makan malam berakhir, Wiguna justru mengajak Raka mengobrol. Rani juga menyuruh Dera untuk membantu merapikan meja makan.

"Saya lihat perkembangan perusahaan ayahmu, luar biasa Raka," puji Wiguna. "Mekipun baru beberapa minggu terakhir kamu tinggal bersama Irfan, kamu pasti sudah tau banyak tentang perusahaan ayahmu, kan? Tentu saja, anak muda cerdas seperti kamu adalah penerus yang sempurna."

Wiguna tidak pernah seramah ini kepada Raka. Apalagi setelah Bunda Raka meninggal dan Irfan meninggalkannya, masa-masa itu Dera sering bercerita kalau Wiguna berubah tak suka padanya. Namun setelah Raka tinggal bersama Irfan, Wiguna berubah menyukai Raka lagi.

"Jangan sungkan untuk sering-sering datang ke sini. Dera sayang sekali sama kamu," sambung Wiguna tepat ketika Dera keluar dari dapur. "Atau kalau kalian mau lebih serius, saya bisa bicarakan dengan Irfan."

Dera menatap kaget. Mengira ayahnya salah bicara.

"Maksud papa apa?" tanya Dera dengan nada tegang. Bahkan Rani pun tidak melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dapur karena ingin mendengar lebih banyak.

Wiguna mengedikkan bahu. "Apa salahnya membawa hubungan kalian menjadi lebih serius, kalian saling suka, kan?"

Dera dan Raka saling menatap. Mereka tidak tau harus menjawab apa. Bukan cuma saling suka, Dera dan Raka seolah sudah terikat dengan tali yang tidak terlihat, tapi di usia muda seperti ini bukan berarti mereka harus menikah, kan?

"Santai saja, papa cuma bercanda!" seru Wiguna dihias tawa geli membuat Dera dan Raka menghela napas lega.

"Papa mau lanjut kerja dulu. Kalau kamu mau menginap, masih ada kamar tamu." Wiguna bangkit dari kursinya. Berjalan ke arah Raka dan menepuk bahunya dan menghilang di pintu ruang kerja.

"Barusan Papa ngomong apa?" gerutu Dera dengan wajah memucat. Dia tidak tau apakah harus tertawa bahagia ataupun menangis karena takut.

"Cuma bercanda."

Dera mengalihkan pandangan. Dia memperhatikan Raka dan teringat dengan pertanyaan di dalam otaknya tentang kedatangan Raka secara mendadak.

"Mau ngobrol di kamar gue?" tawar Dera.

"Boleh?" Raka menaikkan sebelah alis. Dia tidak ingin lancang masuk ke dalam kamar perempuan meskipun itu kamar pacarnya sendiri.

Tanpa menjawab, Dera langsung menarik lengan Raka. Rani menatap dari kejauhan sambil tersenyum.

Kamar Dera masih sama seperti ketika terakhir kali Raka ke sini. Tempat tidur di tengah-tengah ruangan, koleksi outfit yang jumlahnya puluhan, boneka pink dan segala hal berwarna pink di atas meja rias penuh alat kecantikan.

Dera mengunci kamarnya agar tidak ada yang bisa mengganggu mereka, terutama ibunya yang biasanya akan datang untuk mengecek apakah dia sudah tidur atau belum.

"Ada masalah?" tanya Dera. Melihat Raka duduk di atas sprei bergambar sakura dengan ekspresi muram. Dia duduk di samping Raka. Merangkul bahunya yang lumayan tinggi, karena tak tahan di posisi seperti itu, Dera menarik tangannya lagi. Giliran tubuhnya yang bersandar di bahu Raka asalkan mereka saling menempel.

"Gue nggak bisa tinggal di rumah itu lagi." Raka tidak sanggup menyebutkan alasan dia kabur.

"Semua yang dia lakuin ke gue, ngajak gue buat tinggal di rumah itu, cuma buat menyombongkan kekayaan dia aja, Der," jelas Raka.

Mendadak dia tidak bisa bicara masalah kerja sama Satria dan Irfan.

"Dia bawa-bawa nama Bunda seolah-olah dia nggak bersalah sama sekali." Raka menjelaskan semua hal yang dia benci dari rumah Irfan. Dia ingin mengatakan tentang kerja sama antara Irfan dan Satria, tapi tenggorokannya seperti tercekat. Raka takut Dera akan membencinya ketika tau bahwa dia telah curang.

"Terus?" Dera menautkan alis. Menunggu cerita Raka yang kelihatannya belum usai. Namun Raka hanya terdiam.

"Lo cuma butuh waktu," kata Dera begitu sadar Raka mungkin butuh waktu untuk bisa menjelaskan semuanya. Dia tau benar pipi merah di wajah Raka itu karena Raka menangis.

"Nanti sembuh sendiri lukanya." Dera menarik kedua pipi Raka. Memaksanya untuk saling menatap. Kemudian memeluknya untuk menenangkannya.

"Lo bisa tinggal di sini selama apapun yang lo mau, asalkan lo nggak balik ke rumah kecil itu lagi. Oke?" perintah Dera sambil mengelus pipi Raka.

Raka mendekap Dera dan mengecup pucuk kepala gadis itu.

Semua rasa cemas telah hilang setelah berada di dekat Dera. Raka benar-benar bersyukur setelah bundanya pergi, Dera selalu ada di sampingnya.

Dera benar-benar punya peran yang hampir sama seperti Zara di hidup Raka, terutama setelah Zara meninggal.

Sebenarnya dia tidak akan menolak seandainya perkataan Wiguna tadi bukan cuma candaan. Dia bersedia untuk menjadi pasangan Dera dan menjaga Dera seumur hidupnya.

"Besok babak keempat, harus tidur lebih awal. Oke?!" perintah Dera ketika Raka hampir saja menciumnya.

"Ya, Alvi ngalahin gue di latihan tadi." Mood Raka langsung berubah ketika mengingat kejadian di lapangan ketika dia sedang berlatih lari tadi.

Dera menatap tak suka. "Tapi lo bisa ngimbangin kan?"

Raka mengedikkan dagunya. "Alvi sih bisa.Tapi Aldi. Dia juara Asean School Games cabang renang."

Dera menatap tak percaya. "Aldi mungkin lincah di bawah air, tapi gue yakin dia kalah sama lo."

Bibirnya membengkok ke atas membuat Dera tak bisa menahan senyum bahagia. "Kita lihat aja nanti." 

"Ya udah, gue antar ke kamar tamu. Nggak mungkin tidur di sini, kan?" tanya Dera, menarik lengan Raka. "Tapi maaf kalau nggak semewah kamar lo di rumah Om Irfan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang