XIV

189 11 0
                                    

Tok tok ...

Seli terlonjak kaget hingga wadah cat kuku terakhir yang ia punya jatuh ke lantai dan pecah. Padahal baru jempol dan telunjuknya yang dia warnai dengan cat kuku itu.

Sambil menggeram, Seli menatap ke arah pintu masuk.

Sejak mendiami kosan baru ini, sudah ada lima orang mengetuk pintunya untuk berkenalan.

Terkadang mendapatkan perlakuan ramah tidak selamanya menyenangkan.

Dengan langkah emosi, Seli berjalan ke pintu utama. Dia menunda membersihkan pecahan cat kuku di atas lantai. Yang terpenting dia membukakan pintu untuk orang pembawa sial itu lebih dulu.

Hal pertama yang Seli lihat ketika membuka pintu adalah empat tangkai bunga mawar di tangan seseorang yang baru saja mengetuk pintu kosannya. Orang itu adalah ....

"Denis?!" Seli menelan ludah. Mengira dia sedang bermimpi.

Denis berhasil melarikan diri dari Aldi setelah diejek di lantai tiga tadi. Dia tidak sempat bilang ke Raka kalau dia akan langsung pergi ke kosan Seli.

"Suruh gue masuk, kek," pekik Denis ketika Seli masih membeku di ambang pintu.

Seli tidak menjawab. Namun dia membukakan pintu lebar-lebar untuk mempersilakan Denis masuk.

Ruangan ini tidak terlalu lebar. Hanya muat ditempati satu ranjang ukuran single. Sebuah lemari besar dan meja belajar yang sama sekali tidak digunakan untuk belajar, melainkan digunakan untuk menata alat makan.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Seli dengan nada tak bersemangat. Dia pikir setelah selama ini menjauhi Denis, hubungan mereka akan berakhir, Denis tidak akan kepikiran untuk menemui Seli secara langsung seperti ini. Ternyata anggapan Seli salah, Denis tidak sepengecut itu.

"Mau ngasih lo ini." Denis menyodorkan bunga mawar kepada Seli.

Seli sadar Denis berjalan dengan langkah tertatih ketika masuk ke dalam ruangan. Dia memperhatikan kaki Denis yang terbalut sepatu. Denis masih mengenakan seragam, jaket baseball tersampir di tubuhnya untuk menutup logo almamater Triptha.

"Terima, Sel. Gue dikejar anjing tadi gara-gara metik bunga di rumah orang. Nih, kaki gue keseleo," jelas Denis. Menceritakan perjuangannya yang tidak main-main demi Seli.

"Terus terang aja lo mau apa?" tegas Seli karena tak ingin diganggu.

Denis terdiam. Ternyata meskipun dia sudah berusaha bercanda, Seli tetap cuek padanya.

"Lo nggak pernah panggil gue dengan sebutan nama kalau lo baik-baik aja. Lo selalu panggil gue dugong, monyet, kera, jerapah, bahkan anjing. Gue merasa lebih baik lo panggil gue kayak gitu daripada lo manggil gue dengan sebutan nama karena itu artinya lo nggak baik-baik aja."

Seli tidak percaya apakah sosok yang berdiri di hadapannya ini adalah Denis.

Kenapa tiba-tiba Denis berubah menjadi sosok dengan tipe yang Seli cari selama ini?

"Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Sofia," Denis menunduk. Tidak tau apakah membawa nama Sofia adalah cara yang tepat untuk menenangkan Seli.

"Sumpah, Sel. Lo bisa cari tau sendiri kalau Sofia punya pacar, nama pacarnya Sean."

Denis memperlihatkan ponselnya, mencarikan nomor Sofia yang kini sudah memakai foto profil bersama dengan pacarnya.

"Gue pernah tertarik sama dia. Lo bisa baca chatan gue sama dia. Tapi sekarang nggak lagi, Sel. Enggak semenjak dia bilang kalau dia cuma jebak gue. Enggak lagi semenjak gue tau kabar kalau Sofia suap sekolah biar bisa masuk kelas unggulan."

"Malam itu ..." Denis menelan ludah karena tak sanggup mengucapkannya. "Gue ciuman sama Sofia, tapi gue berharap kalau dia bukan ciuman pertama gue. Melainkan ... lo."

Seli tidak bisa berkata apa-apa. Dia menghargai pengakuan Denis, segala bentuk pembuktian agar dimaafkan. Untuk pertama kalinya hatinya yang sekeras batu meleleh hanya karena seorang Denis.

"Waktu lo meluk gue malam itu, malam di mana lo disekap di markas Rule Breaker, gue sadar kalau gue mungkin salah mengartikan sikap yang lo perlihatkan selama ini. Ejekan lo selama ini adalah bentuk perasaan suka yang lo pendam ke gue."

Seli baru saja ingin membantah karena dia tidak suka ditebak-tebak, tapi Denis lebih dulu menahan lengan Seli.

Ketika kulit mereka bersentuhan dan bukan karena saling mencubit atau pun memukul, Seli merasakan aliran darah yang tenang di tangan Denis, begitu pula sebaliknya. Aliran darah itu seirama seolah sudah sejak lama seharusnya mereka menyadarinya.

"Gue benci lo, tapi gue bohong," kata Denis. Sudut bibirnya terangkat ke atas.

"Tau maksud gue?" tanya Denis lagi.

Seli mengangguk dengan tatapan mata yang terkunci dengan tatapan mata Denis.

"Gue juga benci lo, Nyet," bisik Seli.

"Bohong nggak?" tanya Denis setelah Seli diam agak lama.

"Enggak. Gue beneran benci sama lo," ucap Seli berniat ingin membuat Denis marah seperti kebiasannya dulu.

Denis tertawa, akhirnya dia berhasil mengembalikan Seli yang dulu.

"Benci yang lo maksud itu, suka, kan?" tanya Denis padahal dia sudah bisa menebaknya sejak awal. Seli tidak akan pernah mengakui perasaannya secara langsung. Denis tau Seli tipe cewek seperti itu.

"Sok romantis banget, sih, Pakai bawa-bawa mawar segala, emangnya mau ke pemakaman?" Seli menarik mawar dari tangan Denis.

"Gimana kalau kita pacaran?" tanya Denis sontak membuat Seli membeku di tempat.

"Kali ini gue nggak bercanda, Sel." Denis menarik tangan Seli yang masih membawa mawar. Dia tidak tau apakah seperti ini cara yang benar untuk menembak seorang gadis.

Kenyataan bahwa Denis bisa jadi tipe yang selama ini Seli cari membuat Seli tidak bisa menahannya lagi. Hanya saja, dia tidak tau bagaimana menerima tawaran Denis untuk jadi pacarnya. Egonya masih terlalu besar.

"Nggak papa, Sel. Lo nggak jawab. Lo diam aja udah gue anggap kalau lo setuju," kata Denis karena tidak tahan melihat Seli terdiam begitu lama hingga membuatnya gemas.

Seli memukul pelan bahu Denis. "Oke, iya."

"Hah? Apa? Nggak denger gue." Denis menatap takjub.

"Oke, kita pacaran!" seru Seli sambil memukul dada Denis.

Denis meraup wajahnya yang penuh senyum bahagia. Ternyata semudah itu menaklukan Seli. Jika saja tau semudah ini, Denis pasti sudah memacari Seli sejak dulu.

"Dengan satu syarat," kata Seli bahkan sebelum Denis memekik bahagia untuk merayakan keberhasilannya. "Jangan jadiin hubungan ini sebagai titik lemah kita di kompetisi TGS. Kita tetap saingan di sana."

Denis agak tak menyangka ternyata Seli mengajukan syarat seperti itu. Bukan masalah baginya, karena dia sendiri akan mengajukan syarat yang sama.

Deringan ponsel di atas meja membuat perhatian keduanya teralihkan. Ada nama Satria muncul di layar ponsel Seli. Satria, bukan Pak Satria, tentu saja itu membuat Denis penasaran.

"Pemilik kos sialan," umpat Seli. "Kebetulan nama mereka sama," jelas Seli untuk menjawab pertanyaan yang baru saja ingin Denis tanyakan.

Denis sadar, dia sendiri sudah ditelfon berkali-kali oleh Davin dan Raka sejak tadi.

"Gue juga harus pulang, Sel." Denis menatap sedih.

"Pulang? Langsung pulang? Nggak mau gue pijetin kaki lo yang keseleo dulu?" tanya Seli padahal dia ingin Denis berlama-lama di sini untuk menemaninya.

"Lain kali gue datang ke sini lagi, oke. Yang penting sekarang gue udah jadi pacar lo dan lo juga udah jadi pacar gue."

Seli tersenyum geli mendengarnya. "Ya udah, hati-hati!" pesan Seli sebelum Denis keluar dengan kaki keseleonya lalu menghilang dari pandangan.

Seli menghela napas panjang. Dia menutup pintu setelah memastikan Denis sudah pergi dengan mobilnya. Barulah dia mengangkat panggilan yang sudah dua kali tidak terjawab itu.

"Halo!" sapa Seli dengan nada antusias.

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang