XV : BABAK KEDUA

161 11 2
                                    

Perjuangan mengerjakan proyek hingga malam akhirnya berakhir.

Hari ini hari pengumpulan proyek sains dari kelompok satu dan dua. Siswa IPA dikumpulkan di gedung pameran bersama karya mereka.

Tujuh juri dari luar negeri maupun dalam negeri dikerahkan untuk menilai hasil jerih payah kedua puluh peserta itu.

Dera menunggu di luar ruangan sambil berjingkrak kesenangan karena bertatapan dengan Raka yang akan mewakili timnya menjadi pembicara.

"Excuse me," sapa seorang wanita berpakaian formal yang merupakan salah satu juri TGS. Dari matanya yang sipit dan logatnya yang sangat fasih, Dera menebak perempuan itu berasal dari luar negeri.

"Apakah kamu peserta?" tanya wanita itu dengan bahasa Inggris.

Dera ragu-ragu menjawab, "No."

"Well, kamu bisa bawakan file ini sebentar kalau begitu. Saya ada urusan sebentar di toilet."

Belum sempat Dera menoleh, wanita itu lebih dulu menitipkan tumpukan berkas itu di tangannya. Lantas, dia berlarian menuju ke wc terdekat.

Dera tidak menyangka dia akan jadi asisten pribadi mendadak seperti ini. Padahal dia sama sekali tidak mengenal siapa juri asing itu.

"Derana Anastasya!" sapa Pak Satria yang tiba-tiba muncul dari dalam ruang pameran. Pesonanya membuat Dera tidak bisa mengalihkan pandangan.

"Sir," Dera mengalihkan pandangan dari wajah pak Satria.

"Saya lihat nama kamu dari name tagmu." Pak Satria menunjuk name tag yang terpasang di dada Dera.

"Tadi saya lihat kamu dititipi Miss Lauren sebuah dokumen." Pak Satria melirik dokumen di tangan Dera.

"Benar, Pak. Ini dokumennya."

Pak Satria merebut dokumen di tangan Dera. Lalu tersenyum ramah seolah merebut barang milik orang lain adalah hal yang sopan.

"Biar saya yang bawakan, terima kasih sudah mau membantu Miss Lauren. Tapi sebaiknya kamu tidak ada di sini, Dera. Karena hanya peserta dan pihak lomba yang boleh berada di sini."

Dera mengangguk mengerti. Sebelum dia pergi, seperti perintah Pak Satria, dia lebih dulu melirik ke arah Raka. Karena Raka tidak menoleh balik ke arahnya, dia akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana.

Sementara di dalam sana, para juri baru saja dikenalkan dengan kedua ketua dari kelompok satu dan dua.

Mereka bertepuk tangan ketika Aldi dan Raka berdiri di samping proyek masing-masing, sementara peserta yang lain berdiri tak jauh di belakang Aldi dan Raka.

"Baiklah, Aldi, bisa jelaskan sedikit tentang proyek yang sudah timmu selesaikan?" perintah Bu Sonia dengan nada antusias.

Aldi melangkah selangkah ke depan. Tangannya tertata di depan perut membuatnya terkesan percaya diri.

"Terima kasih untuk kesempatan yang diberikan," kata Aldi. Untuk pertama kalinya dia terlihat profesional. "Tim kami berhasil membuat robot AI yang bisa berbicara dengan manusia," jelas Aldi. Menunjuk robot setinggi tiga puluh senti. Memang tidak sesempurna robot ai buatan orang luar negeri, tapi untuk seukuran anak SMA, robot buatan tim satu sudah termasuk memukau.

"Kami menanamkan komputer mini sebagai controller. Komputer tersebut bisa memroses pemilihan kata yang tepat untuk mencari solusi dan permasalahan dari klien. Saya akan perlihatkan contoh."

Aldi menghidupkan tuas di bagian belakang robot. Terdengar desingan teratur hingga dua benda yang mirip tangan bergerak melambai.

Bulatan di bagian atas yang sepertinya adalah bagian kepala, memancarkan cahaya seperti monitor ponsel, lantas garis senyum dan bulatan mata muncul dari sana. Bulatan itu berkedip, garis senyum juga makin lebar ketika Aldi menatap ke arahnya dan tersenyum.

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang