Ψ

336 11 0
                                    

PSI

Huruf ke-23 dalam alphabet Yunani

ψ

"Udah selesai belum, Der?" tanya Seli yang sejak tadi selfi-selfi tak jelas sementara Dera mengetik essay dengan gerakan tangan super cepat.

Dera sudah tidak sabar pulang ke rumah. Perasaannya tak enak sejak masuk ke tempat ini. Apalagi dia dan Seli menjadi satu-satunya pelanggan di tempat ini.  Dia ingin menyalahkan Seli karena mengajak ke tempat yang tidak biasa mereka datangi, tapi dia tau itu hanya akan mengulur waktu menjadi lebih lama.

"Dera!" pekik Seli ketika Dera tak menjawab pertanyaannya.

"Iya, ini bentar lagi. Habis 500 kata, gantian lo yang nulis, kan?" tanya Dera seperti perjanjian di awal mereka tadi.

"Udah 500 emangnya?" Seli melirik ke layar laptop. Tepat saat itu, Dera berhasil menulis 500 kata. Dia menyerahkan laptopnya ke hadapan Seli.

Seli baru saja ingin mengetik sambil mengeluh ketika ponselnya berdering memperlihatkan panggilan dari Denis. "Kenapa sih nih anak, ganggu mulu dari tadi."

"Nggak usah dijawab dulu. Lo selesaiin essay-nya biar cepat pulang!" perintah Dera ketika Seli ingin mengambil ponselnya. Dia tau jika Seli sudah pegang posel, dia pasti akan menggunakannya untuk foto. Pada akhirnya dia tidak akan menulis karena keasyikan memegang kamera. Dera memutuskan untuk mematikan ponsel Seli.

"Iya iya, Dera." Seli mengalihkan pandangan ke laptop. Tak lama kemudian, ponsel Dera yang berbunyi, menandakan panggilan dari Raka.

"Siapa Der?" tanya Seli tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.

"Raka."

"Kenapa sih  mereka?"

Raka mengendarai mobil Denis karena dia tau jika Denis yang mengendarainya, mereka akan tiba di lokasi dua bulan lagi. Raka bisa mengendarai lebih cepat dari Denis sehingga waktu mereka tidak tersita di tengah jalan. Dia sudah tidak sabar melihat Seli dan Dera dalam keadaan baik-baik saja. Jika sampai sesuatu terjadi pada mereka, dia lah yang bertanggung jawab karena sebenarnya permusuhan ini tentang Raka dan Aldi.

Sedangkan Denis sejak tadi menghabiskan waktunya untuk melihat-lihat akun media sosial Aldi. Siapa tau dia menemukan suatu petunjuk di sana.

"Kebanyakan postingan Aldi foto di tempat kayak kafe-kafe gitu, Ka," jelas Denis. Dia menarik kesimpulan setelah melihat lebih dari lima foto Aldi berada di lokasi yang serupa.

Raka agak melirik Denis. "Markas mereka mungkin ada di kafe. Money laundering. Orang-orang yang melakukan bisnis ilegal biasanya buka bisnis lain yang legal biar orang-orang nggak curiga sama bisnis ilegal mereka. Contohnya ini, mereka punya bisnis kafe, semua uang yang mereka dapatkan dari hasil retas dimasukkan ke kas kafe. Biasanya bisnis kayak gitu nggak terlalu ramai, tapi uang yang tercatat di pendapatan melamapui batas."

Denis mengamati gambar-gambar Aldi lagi hingga dia sadar akan satu hal. Sebuah logo bergambar elang yang pernah dia lihat sebelumnya akhir-akhir ini.

"Logo ini persis sama logo yang ada di kafe tempat Dera sama Seli saat ini." Denis sangat ingat meskipun dia cuma melihat sekilas.

"Seli sama Dera di markas Rule Breaker!" seru Denis panik.

Raka ikut kaget. Tangannya tiba-tiba gemetar. Dia tidak yakin apakah Seli dan Dera baik-baik saja begitu dia tiba di sana. Kesalahan besar baginya karena tidak ikut kedua gadis itu mengerjakan essay. Lagian, kenapa harus mengerjakan essay di kafe? Biasanya Seli dan Dera mengerjakan tugas di rumah mereka. Raka benar-benar tidak habis pikir.

"Coba lo telfon mereka, Den."

Denis mengangguk mengerti. Dia menelfon Seli dengan ponselnya, berharap Seli segera menjawab dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

"Nggak dijawab," gerutu Denis di panggilan pertama. Denis mencoba panggilan yang kedua.

"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif," terdengar suara operator alih-alih jawaban Seli. Pemberitahuan seperti itu biasanya karena ponsel nomor yang dituju dimatikan atau karena tidak ada signal.

Raka menarik ponsel di saku jaketnya dengan susah payah. Dia melempar ponsel itu ke pangkuan Denis. "Telfon Dera."

Sebenarnya Denis juga bisa menelfon Dera dengan ponselnya sendiri, tapi karena Raka bersikeras, maka dia menggunakan ponsel Raka.

Tidak seperti Seli, Dera menerima panggilan tak lama kemudian membuat Denis bisa menghela napas lega.

"Dera!" sapa Denis begitu panggilan terhubung.

"Halo, Raka. Kenapa? Dari tadi telfon mulu." Nada bicaranya terdengar sangat kesal. Bagaimana tidak, Dera dan Seli asik mengerjakan tugas yang hampir selesai. Mereka juga dalam keadaan terburu-buru, tapi Denis dan Raka tidak berhenti menerornya.

"Ini gue Denis, Der."

"Suruh dia pulang!" perintah Raka. Tangannya mencengkram erat setir karena panik.

"Kenapa sih sama kalian?" tanya Dera, tidak peduli siapa yang menlfonnya. Dia butuh penjelasan kenapa kedua cowok itu terdengar panik.

"Lo sama Seli buruan pergi dari tempat itu sekarang!" perintah Denis membuat Dera keheranan.

"Hah?"

"Gue lagi jemput kalian, baru setengah perjalanan. Lebih baik kalau kalian pergi dari sana sekarang juga."

"Kenapa emangnya?" Dera tidak habis pikir. "Gue sama Seli belum selesai ...."

Suara Dera terdengar menjauh. Denis menautkan alis. Menjamkan indra pendengarannya. Kalau tidak salah, dia mendengar suara laki-laki di sela-sela jawaban Dera.

"Permisi!" itu suara Dera. Dia bukan berbicara kepada Denis, tapi kepada seseorang yang baru saja merebut ponselnya.

"Itu hape gue. Kenapa lo ambil?" tanya Dera.

"Punya masalah apa lo. Enak aja ambil hape orang lain." Itu suara Seli. Seperti prediksi Denis, dia pasti sudah berdiri dan siap merobohkan siapapun yang baru saja mengganggu Dera.

"Balikin hape gue nggak?!" Suara Dera terlihat bergerak semakin menjauh. Denis berjengit.

"Kenapa, Den?" Raka yang sejak tadi mengawasi Denis, curiga melihat Denis terdiam begitu lama.

Tanpa basa-basi, Raka merebut ponselnya untuk mencari tau secara langsung. Dia mendengar suara Dera sedang mengancam seseorang.

"Pacar gue lagi datang ke sini, lo jangan macam-macam!" kata Dera.

Raka nyaris tak bisa fokus dengan jalanan. Dia tau siapapun yang sedang mengganggu Dera adalah bagian dari misi alpha yang Aldi rancang.

"Dera, lo nggak papa?!" tanya Raka dengan nada cemas.

Tidak ada jawaban, Dera masih terus memarahi orang yang baru saja mengambil ponselnya.

"Der, lo pergi dari sana sekarang. Nggak usah ladenin dia!" bentak Raka. Jika bisa, dia ingin berteleportasi dan tiba di hadapan Dera saat itu juga.

"Balikin hape gue nggak?!" bentak Dera.

Prang!

Terdengar barang pecah di lantai. Raka langsung panik. Membayangkan Dera terjatuh.

"Dera!" pekik Raka. Jari-jarinya meremas kemudi.

"Lo, siapapun lo! Gue nggak akan maafin lo! Lepasin Dera sekarang nggak?!" bentak Raka. Dia tau ponselnya masih berada di tangan orang asing itu. Sayangnya, dia tidak mendengar suara Dera lagi setelah itu.

"Jangan bawa Dera kemana-mana bangsat! Gue bunuh lo!" ancam Raka membuat Denis ketakutan setengah mati.

Tak lama kemudian, panggilan diputus sepihak. Raka membanting setir sambil menggeram. Dia memberikan ponselnya kepada Denis. "Lo udah kasih tau papa lo, kan?" tanya Raka dengan nada gusar.

"U-udah," sahut Denis tegang. "Hape gue udah terhubung sama hape Papa. Dia lagi buat misi di kantor polisi."

Setidaknya, mereka sudah melaporkan hal ini kepada polisi. Para polisi itu akan segera membantu Raka. Meskipun begitu, Raka tidak akan tenang sebelum dia melihat Dera baik-baik saja.

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang