II

278 14 0
                                    

Debu di pelataran pemakaman berterbangan ketika sebuah motor berhenti.

Raka melepas helm fullface-nya dan melirik panji-panji makam di kejauhan.

Sejak tau dirinya bukan cuma akan bertanding dengan Aldi, melainkan bertanding dengan siswa pintar lain, dia langsung merasa tidak percaya diri.

Raka tidak pernah merasa sefrustasi ini hingga satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang bukan Dera lagi, melainkan ibunya.

Karena ibunya sudah meninggal, maka Raka tidak punya pilihan selain datang ke pemakaman.

Langkah kaki Raka mengayun pelan di atas jalan setapak. Kanan kirinya terdiri dari batu nisan dan bunga-bungaan.

Raka berhenti tepat di sudut pemakaman.

Tertulis nama Zara Adijaya di batu nisan itu. Nama bundanya yang dulu sering dia banggakan.

Ini adalah kali pertama Raka datang ke sini setelah Zara dimakamkan hari itu.

Dia masih ingat, dia berdiri di barisan paling belakang karena tidak ingin melihat bundanya dimakamkan.

Sejak saat itu, wajahnya berubah datar, untuk selamanya.

"Bunda, ini Raka!" Raka membelai batu nisan dengan tangannya yang hampir sembuh meskipun masih terlilit perban.

Dia tersenyum meskipun terkesan seperti orang gila tersesat di pemakaman. Senyuman itu biasa dia lontarkan ketika bundanya masih di rumah sakit.

"Raka mau minta restu," katanya dengan deru napas getir.

Jika bundanya bisa menjawab, dia pasti akan bertanya, 'Restu apa, sayang?'.

Namun hanya hembusan angin yang menyahut ucapan Raka dan Raka tidak tau arti hembusan itu.

"Restu supaya Raka bisa menang di kompetisi ini." Raka menunduk dalam.

"Dera bilang, kalau Bunda masih ada, Bunda pasti akan suruh Raka ikut kompetisi ini juga." Raka menahan genangan di sudut matanya.

"Kali ini Raka berjuang bukan buat Bunda, tapi buat Dera. Bantuin Raka, Bun. Doakan Raka selama memperjuangkan Dera. Bunda tau siapa yang nemenin Raka sampai hari ini." Tidak ada yang tau Raka bisa berubah menjadi anak paling manja jika berada di pelukan ibunya.

Raka menaburkan bunga yang dia petik dari belakang batu nisan.

Dia membayangkan pelukan Zara dan cara wanita itu mengelus bahunya ketika dia sedih.

Mungkin semua itu tidak nyata, tapi Raka bisa merasakan kehadirannya.

Rintik hujan membuat Raka memutuskan untuk pergi dari pemakaman.

Dia naik ke atas motornya dan melaju untuk kembali ke rumah.

Raka masih mengenakan seragam sekolah. Selepas kegiatan belajar berakhir, Dera memberitahunya kalau dia ada acara dengan Seli.

Raka sempat menginterogasi panjang lebar, takut kalau terjadi sesuatu yang buruk lagi seperti hari itu, tapi ternyata Dera tidak hanya pergi bersama Seli, melainkan bersama teman-temannya yang lain dan Raka dengan terpaksa menyetujuinya.

Karena itulah Raka sempat mampir ke pemakaman untuk melepas rasa rindunya dengan Zara dan kini dia terkejut melihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya.

Raka tau Porsche 911 bukan mobil biasa. Jumlah unitnya terbatas karena harganya tidak wajar.

Lantas, siapa sultan yang bertamu di dalam gubuk kecilnya menggunakan mobil seharga langit ini?

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang