VIII

245 13 0
                                    

Kertas berhamburan di lantai. Seli baru saja ingin memaki sosok tinggi itu, tapi dia sadar sosok itu adalah Pak Satria.

"M-maaf," kata Seli tergugu. Dia berjongkok untuk membantu Pak Satria merapikan kertas-kertas di lantai.

"Sialan, kayak di drama-drama aja," gerutunya sangat lirih hingga nyaris tak terdengar. Namun sialnya Pak Satria mendengarnya sehingga senyum geli terbit di bibirnya.

"Terima kasih," kata Pak Satria setelah menerima bantuan dari Seli.

"Saya nggak sengaja, Pak. Beneran. Saya minta maaf."

Pak Satria tidak lekas pergi. Dia memperhatikan perawakan Seli yang mungil dan menggemaskan. Hanya saja, wajahnya jutek meskipun berkacamata. "Kamu salah satu perserta TGS kan?"

Seli mengangguk patah-patah. "Benar, Pak. Saya di ruang 18 tadi."

"Oh, berarti saya nggak salah lihat."

Seli tersenyum. Dia tidak akan menyia-nyiakan pemandangan indah di depannya. Dari sekian banyak siswa yang mendambakan Pak Satria, dia beruntung berhasil bicara secara langsung seperti ini.

"Lain kali, perhatikan jalan, ya. Untung saja saya yang ditabrak, coba kalau Bu Sonia, bisa kena masalah kamu nanti."

"Hehe, saya sering punya masalah sama Bu Kepala, Pak. Tenang aja." Seli tersenyum geli.

"Kamu siswi bandel, ya?" tebak Pak Satria membuat Seli tak sanggup menjawab.

"Mau ikut saya ke ruangan?"

Seli membelalak kaget mendapatkan tawaran itu.

"Kamu bisa sharing-sharing, apa yang membuat kamu marah-marah sampai nggak lihat jalan dan akhirnya nabrak saya."

Seli menatap kagum. Semudah itu Pak Satria menebak apa yang sedang Seli alami. Tidak ada keraguan Seli menolak tawaran itu. Dia justru bangga akan menjadi satu-satunya siswa yang akrab dengan pengawas kompetisi ini. Siapa tau dia mendapatkan keuntungan yang tidak terduga.

Ruangan yang ditempati Pak Satria adalah ruangan kesiswaan. Catnya masih berwarna hijau telur asin, tapi mejanya ditata lebih rapi bersama dengan arsip-arsip yang entah sejak kapan ada di sana.

"Mau nemenin saya makan siang? Kebetulan saya belum makan siang dan saya bawa banyak."  Pak Satria memperlihatkan bekal di atas meja.

Seli mengintip dengan antusias, dari tutupnya yang transparan dia melihat ada potongan buah-buahan dan kecambah segar, ada juga daging-dagingan suwir.

"Saya sangat suka menyusun kotak bekal seperti ini," kata Pak Satria ketika melihat ekspresi takjub di wajah Seli.

"Santai saja, saya nggak segalak itu, kok." pak Satria mengedikkan dagunya ke arah kursi kosong. Menyuruh Seli untuk duduk santai di sana.

"Nyaman nggak Pak, di sini?" Seli mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Seperti deja vu baginya ketika mengingat malam di mana dia membobol komputer sekolah di ruangan ini untuk mengganti nilai C-nya menjadi A.

Pak Satria tertawa mendengar bagaimana Seli mengambil topik untuk basa-basi. "Seli," sapa Pak Satria membuat Seli mengalihkan pandangan ke arahnya. "Saya nggak setua itu. Mungkin kita cuma beda 6 tahun. Kamu bisa panggil aku Satria aja."

Seli membelalak.

Shitt, jalur panggil nama? Ada apa ini?

"Eh, maaf."

"Jujur saja, kita baru kenal, tapi saya suka karakter kamu."

Pak Satria tersenyum. Senyuman yang belum pernah dia perlihatkan kepada siapa-siapa, hanya untuk Seli. Jika saja ada mic di dada Seli, mungkin suara jantungnya sudah mengalahkan suara letusan krakatau.

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang