XI

199 13 0
                                    

Sudah sejak seminggu lalu Raka dan teman-temannya menghabiskan waktu mereka di lab dua.

Pulang malam sudah jadi kebiasaan para peserta TGS. Seperti hari ini, Raka dan Alvi masih berada di lab meskipun jam sudah menunjukkan pukul lima sore.

Denis sudah lebih dulu pulang satu jam lalu karena dipaksa oleh orang tuanya.

Pak Raden tidak banyak membantu. Jika peserta ingin bertanya, dia selalu menghindar dan mencari alasan yang tidak logis, lalu pergi begitu saja.

Jujur, Raka dan teman-temannya sangat iri melihat kedekatan Pak Hasan bersama dengan kelompok satu.

Denis bahkan bertanya-tanya bagaimana Pak Hasan dan Aldi bisa seakrab itu.

Proyek sudah setengah jadi. Raka memeriksa beberapa bagian yang masih kurang.

Jujur saja dia masih ragu apakah rencananya kali ini akan berhasil.

Apalagi saat mendengar isu-isu dari timnya bahwa karya tim satu lebih spektakuler.

Dia takut mengecewakan timnya.

"Udahan dulu, Ka. Nggak capek apa kerja terus dari tadi?" Dera duduk di kursi dekat pintu lab saat Raka mengamati miniatur gedung yang kurang kokoh dan segera meneriaki Alvi. "Lemnya habis?"

"Kenapa?" sahut Alvi.

"Gedungnya mau roboh." Raka menekan miniatur gedung dari plywood yang hampir menempel permukaan papan di bawahnya.

Alvi menoleh. "Itu tugasnya Alice. Besok gue kasih tau dia."

Raka baru ingat Alvi punya tugas dengan kabel-kabel listrik, bukan pasang memasang material.

"Ini gimana, Ka? lampunyanya nggak mau nyala," keluh Alvi.

Raka menoleh. Melihat hasil kerjaan Alvi yang awut-awutan.

"Kabelnya udah gue periksa, nggak ada yang salah. Ukurannya juga udah pas. Lampunya baik-baik aja, nggak ada yang rusak. Yang salah di mana?" Alvi menggaruk tengkuknya.

"Coba periksa saklarnya," pesan Raka sambil memperbaiki miniatur gedung sebisanya.

"Owalah!" seru Alvi dengan ekspresi tak menyangka.

"Plat penghubungnya nggak nempel ke platina." Alvi menepuk dahinya sendiri.

"Pantesan nggak bisa nyala. Kalau nggak nempel platina, nggak ada aliran listrik ke kabel, Vi." Raka berdecak.

Alvi segera memperbaiki kesalahannya.

"Raka!" panggil Dera yang mulai bosan diabaikan. Sejak satu jam lalu dia duduk di samping pintu masuk sambil memperhatikan Raka yang sibuk bekerja. "Lo nggak capek?"

Raka menoleh tenang. "Nggak. Biasa aja."

"Jangan maksain diri. Ntar sakit, siapa yang mau lanjutin proyek ini?"

Raka duduk di hadapan Dera dan menatap ke dalam matanya dengan sorotan lembut. "Lo khawatir?"

"Yakali nggak, Ka."

Raka tersenyum kecil. Alvi yang melihat dari kejauhan langsung menyeringai dan pura-pura tak tau.

"Makan dulu, dari tadi siang belum makan, 'kan? Seli aja khawatir sama lo, loh."

Raka menghembuskan napas pasrah.

"Ayo, Ka. Gue nggak mau lo sakit!"

Dera bangkit dan menarik lengan Raka.

Akhirnya keduanya pergi ke kantin padahal kantin sebentar lagi akan tutup.

"Gue lihat lab satu udah kosong dari tadi. Seli juga cuma ngerjain kalau pagi doang. Siangnya dia sering bolos." Dera ingat dia sudah memberi peringatan kepada Seli berkali-kali, tapi tak pernah didengar. "Dia nggak begitu suka babak kedua ini."

The Golden StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang