"Kamu pernah kepikiran gak?"
"..."
"Gimana kalo kita di masa depan punya rumah, tinggal bersama, lalu hidup berdua aja, jauh dari orang-orang, dari tatapan, dan dari opini jelek mereka."
Isyarat tipis ia tangkap saat punggung yang lebih lebar menekan pelan punggungnya, menyender dengan lebih banyak tenaga di sana, tapi ia tertawa pelan, entahlah, bingung sendiri menertawakan apa.
Tanpa menuruti isyarat yang harusnya sudah ditangkap, kata-kata selanjutnya tetap keluar begitu saja dari bibirnya.
"Waktu pagi, kamu yang bangun tidur duluan udah pergi, entah itu mau yoga, senam pagi, atau apapun, tanpa bangunin aku yang masih tidur nyenyak."
Tangannya lalu digenggam, meski tanpa kata-kata ia mengerti, meski tanpa saling menatap wajah pun dia sudah mengerti.
"Aku yang bangun setelahnya langsung pergi ke dapur, nyiapin susu buat kita berdua, lalu habis kamu selesai dengan kegiatan pagi yang ribet itu, kita bakal duduk di teras, ngobrol berdua sambil minum susu."
Kembali, dia tertawa, kali ini jelas tahu alasannya merasa geli, karena semua hal hanya terlihat sebagai lelucon, semua hal terasa terlalu sayang untuk dilewatkan tanpa tawa disana.
"Habis itu kita bakal pergi ke luar, belanja ke supermarket karena bahan makanan bulanan udah habis. Kita bakal jalan ke supermarket yang jaraknya beberapa blok dari rumah kita, pegangan tangan, ngobrol-ngobrol hal yang remeh, dan jalan pelan-pelan, seakan waktu itu sayang banget buat kita lewatin dengan terburu-buru."
Matanya terpejam, bayangan dari kata-kata yang ia lontarkan terbayang di kepalanya, membuat senyum tipis terbit di wajahnya.
"Kalau bisa, dan kalau kita udah benar-benar siap, aku mau kita adopsi anak, tapi aku tau kamu gimana, pasti jawabannya 'no', kan?"
Kata-katanya berhenti di tengah jalan, napasnya sedikit tercekat, tapi genggaman tangan yang makin mengerat menenangkan dirinya, ... menenangkan hatinya. Matanya terbuka pelan, menampakkan manik biru yang terlihat kesepian.
"Kita bisa adopt pet, mungkin kitten putih yang lucu? Aku mau yang matanya hijau kayak kamu, biar saat kamu pergi kerja, aku bisa kurangin rasa rindu ke kamu dengan main sama kitten."
Kali ini dia yang menimpakan berat badannya pada punggung lebar yang masih sama hangatnya, kepalanya mendongak, membiarkan surai pekat miliknya berpadu dengan surai lainnya yang sama pekat.
Dengan susah payah dia meneguk ludah, matanya kembali terpejam, kali ini dengan erat, seolah dia tengah takut akan sesuatu.
Lalu dalam sekejap, tubuhnya berbalik dan dia sudah berada di dalam pelukan yang hangat.
"Isagi."
Tubuhnya perlahan kehilangan kekuatan, pasrah jatuh ke dalam buaian hangat yang diberikan oleh sang dominan.
"Kita akan ... dan terus egois, kan?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut itu benar-benar menghisap habis kekuatannya, tangannya hanya bisa meremas busana biru yang membalut tubuh pemeluknya.
Kepalanya lalu mengangguk pelan dengan kekuatan yang tersisa, seolah dengan sangat berat dia menerima hal itu.
Sementara yang melontarkan pertanyaan kembali diam, menerima begitu saja saat kuku tajam sosok yang ada di pelukannya menembus kain tipis yang membalut tubuhnya dan melukai kulitnya, dia diam seolah hal itu pantas untuk ia terima.
Dalam hatinya terpikir bagaimana kalau dia bisa sekali saja menjadi egois untuk sang terkasih, bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Dalam hatinya dia berharap bisa mewujudkan semua harapan yang diharapkan kekasihnya, bahkan meski itu semua mustahil.
Tapi pada akhirnya, dalam hati seorang Itoshi Rin, hanya ada harapan untuk bisa terus bersama Isagi Yoichi.
"I will still be the number one striker, and you have to stay here, lihat saat gue jadi yang terbaik."
.
.
.
.
.
.
Fin.
A/n:
Intinya ..., "maaf beb, tapi kalahin Abang dulu baru kamu." -Rin anak bontot sayang Abang Sae..
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓AllxIsagi [oneshot] BLUE LOCK<3
FanfictionKumpulan cerita pendek tentang Isagi dan para haremnya. Judul satu dengan judul lainnya nggak berhubungan ya, +setiap cerita pair-nya berbeda-beda. Selamat menikmati!! Warning!! •√typo(s) •√OOC-(tapi diusahakan nggak terlalu). •√BxB, BL, homo, yang...