02. Hanan & Pukis

11.4K 1K 47
                                    

Kalau kamu cari cowok ganteng yang jadi most wanted di kampus, punya lebih dari 5000 followers di sosial media, memiliki sikap sedingin es di Artartika, tapi tetap dipercaya untuk menjadi ketua BEM

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau kamu cari cowok ganteng yang jadi most wanted di kampus, punya lebih dari 5000 followers di sosial media, memiliki sikap sedingin es di Artartika, tapi tetap dipercaya untuk menjadi ketua BEM. Maka tebakan kamu benar, Hanan adalah definisi sesungguhnya dari boyfriend material yang memancarkan aura red flag sangat kuat, padahal aslinya dia itu sangat payah dalam urusan percintaan.

Sejak masa orientasi, Hanan sudah menjadi buah bibir di seluruh penjuru kampus. Hanan si cowok ganteng dari FEB, Hanan si cowok cool anggota BEM, Hanan si cowok tajir anak CEO. Banyak sekali panggilan untuk Hanan, tapi bagi teman-teman dekatnya, panggilan yang cocok untuk Hanan adalah 'Bucing' atau Bucin Kucing.

Hanan sudah lama tergabung dalam komunitas pecinta kucing. Bahkan saking cintanya pada kucing, Hanan pernah rela menunda jadwal rapat BEM karena tidak sengaja menemukan kucing terluka di jalan, orang-orang sih maklum saja dengan kelakukan anak itu, kalau menentang takut-takut malah jadi perang dunia. Walaupun soft pada anabul, Hanan tetap terkenal tegas di BEM.

"Si Bahrun kenapa gak dibawa ke rumah aja, sih? Kasihan kalo di sekretariat, banyak kating yang gangguin," ucap Bayu, teman seangkatan-sejurusan-seorganisasi Hanan.

"Gak bisa, adek gue punya asma, bahaya kalo melihara kucing," jawab Hanan tanpa melepas fokus pada kucing berusia sekitar 6 bulan yang ada dipangkuannya itu. Bahrun, nama yang diberikan Hanan pada kucing tersebut.

Bayu tak lagi berbicara. Dia baru ingat akan fakta yang satu itu, walaupun belum pernah bertemu langsung dengan adik-adik Hanan selain Jovan, tapi Hanan itu sering sekali membicarakan tentang Radev. Jadi, jangan heran jika seluruh anak BEM bisa mati penasaran karena ingin sekali bertemu dengan yang namanya Radev. Mereka penasaran, segemas apasih seorang Radev sampai bisa membuat cowok sedingin Hanan ketawa tiap kali menceritakannya.

"Eh, udah jam setengah 3. Gue pergi jemput adek-adek gue dulu, ya." Pamit Hanan pada beberapa orang yang sedang bersantai di sekretariat BEM itu.

Bayu menoleh, "Bukannya jam setengah 4 nanti ada kuis?"

"Gue bisa ngebut."

"Jangan ngadi-ngadi lo."

Hanan tak mendengarkan, dia segera bergegas ke parkiran. Mobil yang membawa Hanan sudah keluar dari area kampus, sedikit bersenandung kecil seraya menikmati jalanan yang tidak terlalu ramai, Hanan sedang dalam mood yang bagus saat ini. Bahrun's effect, katanya.

Tatapan Hanan langsung tertuju pada kedua adiknya, Radev dan Angga yang sudah duduk di halte depan sekolah. Ada beberapa anak berseragam lain yang ikut duduk disana. Hanan membuka kaca mobilnya, tersenyum lalu memberikan isyarat agar adik-adiknya itu segera masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan, tidak ada yang bersuara. Angga sibuk dengan PUBG-nya, begitupula Radev yang sibuk melihat keluar jendela, melamun. Hanan melirik sekilas, kenapa tiba-tiba terasa canggung?

"Kita beli pukis dulu, mau?" Tawar Hanan pada kedua adiknya yang sama-sama suka makanan manis itu. Angga memberikan respon berupa anggukan, sedangkan Radev hanya diam saja. Anak itu masih badmood gara-gara kejadian tadi pagi ternyata, pikir Hanan.

Tak lama setelah mengatakan itu, tepat di depan gerbang komplek perumahan mereka, Hanan berhenti di depan gerobak penjual kue pukis. Memesan satu box kue pukis dengan berbagai isian, lalu kembali masuk ke dalam mobil. Dilihatnya Angga yang langsung mengambil satu potong kue, sedangkan Radev malah tertidur di jok belakang.

"Radev gak aneh-aneh kan di kelas?"

Angga mengangkat kepalanya, menatap wajah kakak pertamanya itu, "Gak tahu, aku kan gak sekelas sama kak Radev."

"Benar juga."

***

Malam pun tiba, semua anggota Mahendra telah menyelesaikan tradisi makan malam bersama mereka. Kini semuanya telah memasuki kamarnya masing-masing, selain Hanan yang malah membuka pintu kamar Radev.

Mata laki-laki itu melihat presensi si pemilik kamar yang tengah duduk bersandar di ranjangnya, bunyi dari nebulizer terdengar memenuhi ruangan, pun dengan uap yang keluar dari masker itu. Hanan menatap sendu kearah Radev, ini berarti kali kedua adiknya itu di-nebu dalam sehari.

"Kalo belum baikan juga, kakak bilang Ayah, ya? Biar dibawa ke Rumah Sakit," ucap Hanan seraya duduk disisi ranjang, memijat pelan punggung tangan kiri Radev yang terkulai lemas di sisi tubuhnya.

"Jangan apa-apa Rumah Sakit bisa gak, sih? Buat apa Ayah beli semua peralatan ini kalo dikit-dikit dibawa ke RS, emangnya aku gak capek?"

Hanan menghela napas, kalau sedang tidak fit seperti ini, Radev memang akan jadi lebih sensitif. Itulah mengapa Angga tidak berani untuk mengganggu kakaknya yang satu itu, padahal biasanya Angga sudah berada disana dan tidur bersama Radev.

"Ayah kemana?" Tanya Radev, nebulizer sudah dimatikan, tangannya mulai bergerak merapikan kembali peralatan itu.

"Ada rapat RT, biasa." Hanan bergerak untuk membantu sang adik, "Perlu kakak samperin Ayah?"

Radev menggeleng, "Aku cuma mau ngobrolin masalah kuliah sama Ayah, tapi kayaknya ini bukan waktu yang tepat."

Ah, benar juga, Radev sudah kelas 3 sekarang. Tinggal beberapa bulan lagi sampai anak itu dinyatakan lulus. Entah kenapa Hanan merasa sedih. Bukan, Hanan tidak sedih karena mengingat nanti Angga akan sendirian di sekolah. Hanan sedih karena mengingat bahwa adiknya sudah sebesar ini, padahal dulu rasanya Radev masih setinggi pinggangnya. Tapi, kini anak itu sudah tumbuh dengan cepatㅡwalaupun tingginya tetap tidak bisa mengalahkan Hanan.

"Udah ada rencana mau kuliah dimana, Dev?"

Radev menggelengkan kepalanya, "Dimanapun kampusnya, yang penting aku kuliah aja dulu. Aku pengen ngerasain rasanya jadi mahasiswa."

"Planning-nya kok standar gitu? Mimpinya ditinggiin lagi dong, misal mau kuliah di kampus terkenal kayak kakak. Biar motivasi buat belajarnya juga makin gede," ucap Hanan.

"Aku gak muluk-muluk, kak. Nanti juga kalo udah keterima kuliah, aku bakal belajar yang rajin biar bisa banggain Ayah sama Bunda," balas Radev. "Capek juga jadi anak yang gak bisa apa-apa," lanjutnya.

"Siapa yang bilang kamu gak bisa apa-apa?" Jujur saja Hanan tidak suka mendengar kata-kata itu.

"Gak ada, aku sadar diri aja. Kak Hanan ketua di BEM, sering bantuin Ayah kerja. Kak Jovan pinter banget, sering ikut volunteer. Angga juga jago olahraga, sering ikut turnamen Taekwondo." Radev menarik napasnya sejenak, "Kayaknya cuma aku doang yang gak bisa apa-apa, penyakitan pula."

"Dek!" Emosi Hanan sudah mulai tersulut, "Jangan ngomong kayak gitu lagi! Kakak gak suka, kita semua gak suka dengernya."

"Kenapa sih masih ngelak? Kan faktanya emang gitu."

Hanan sudah tidak tahan lagi, dia kemudian berdiri dari duduknya. Menatap tajam kearah sang adik, aura tegasnya ternyata bisa membuat Radev cukup ketakutan ditempatnya.

"Kalo kamu terus ngomong kayak gitu.." Hanan tampak serius saat ini, Radev semakin dibuat menciut. "Kakak gak bakal beliin kue pukis lagi," lanjutnya. Setelah itu Hanan beranjak keluar dari kamar Radev.

"Hah?" Radev menatap bingung kepergian kakak pertamanya, "Itu doang ancamannya? Receh banget."

Padahal Radev sudah keringat dingin karena takut. []

Sacrifice: Askara Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang