28. He's Gone

7.5K 656 68
                                    

Rekomendasi Lagu
Yoru ni Tokeru - Kai Akala

***

Hanan dan Jovan berlari sekencang mungkin menyusuri koridor Rumah Sakit. Degup jantungnya berpacu kian cepat seiring dengan panggilan tak terjawab dari Ratih, ketakutan semakin membuncah di dalam dada masing-masing.

Dari sudut koridor yang tampak sepi malam ini, Hanan melihat kedua orang tuanya tengah duduk di depan kamar rawat sang adik. Ada Angga juga disana, menyandarkan kepalanya pada bahu Ratih.

"Bunda ..."

Bukan hanya Ratih, Mahendra dan Angga pun turut mengangkat pandangan. Benar, semua anggota telah berkumpul sekarang. Sesuai dengan pesan yang dikirim dokter Farid tadi. Sebagai kepala keluarga, Mahendra mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan terlebih dahulu, diikuti oleh istri dan puteranya yang lain.

Hening menguasai. Seperti biasa, hanya terdengar suara dari mesin EKG dan alat-alat lain yang sudah akrab dengan Radev sejak pertama kali mengisi ruangan ini. Radev, anak itu tampak memejamkan mata dengan tenang, berbaring setengah bersandar.

Mahendra mendekat, tangannya terangkat untuk mengusap bagian dada Radev, mencoba membangunkan puteranya. "Nak ... Bangun, sayang. Kita semua udah ada disini."

Perlahan tapi pasti, kelopak mata itu akhirnya terbuka. Walaupun tidak secerah biasanya, tapi Angga senang masih bisa melihat iris indah milik Radev. Sayangnya, sorotnya kini telah meredup, tatapan itu nampak kosong.

"Sakit, ya?" Tanya Mahendra seraya mengusap lembut surai Radev yang sudah lepek oleh keringat. Ruangan ini dingin, permukaan kulit anak itu juga sama dinginnya, tapi entah kenapa keringat tak hentinya membasahi beberapa bagian.

Radev mengangguk pelan. Setetes air mata jatuh begitu saja dari sudut mata itu, membuat Mahendra refleks mengusapnya. Sakit, Yah. Sakit sekali. Mungkin itulah yang ingin Radev utarakan, walaupun rasanya tidak mungkin. Jangankan untuk bersuara, tetap bernapas dikala sesak kian menyiksa saja sudah menguras banyak tenaga.

Dipandanginya satu persatu, Radev merutuki diri dalam hati, sudah seberapa sering ia menggores luka tak kasat mata bagi keluarganya.

Diantara cairan intravena dan peralatan medis rumit yang membelenggunya, Radev kembali menitikkan air mata. Hanan kini mengambil alih posisi Mahendra, ia julurkan tangan untuk menggenggam tangan itu. Sensasi dingin yang terasa semakin membuat hati Hanan sakit, pikirannya terbang kemana-mana, apakah ini akan jadi yang terakhir?

"Dev, maaf ya ..." Hanan menundukkan kepalanya, tak ingin bongkahan air mata yang pecah itu terlihat oleh Radev, "Kakak gak bisa jadi kakak yang baik buat kamu."

Benar, bukan? Entah sudah berapa kali Hanan membiarkan adiknya berada dalam luka seorang diri. Sejak dulu, saat Oma masih menorehkan luka di tubuh ringkih itu, saat ia membiarkan dunia merusak mimpi dan harapannya, Hanan tak bisa melakukan apapun.

Ia tidak bisa berperan selayaknya seorang kakak. Hanan gagal menyelamatkan Sarahㅡkekasihnya, ia juga gagal menjaga adiknya. Salah besar jika banyak orang mengagumi dirinya, Hanan rasa ia tak lebih dari seorang pecundang.

Genggaman Hanan dibalas oleh Radev, sangat lemah namun cukup terasa. Air mata kembali jatuh, Hanan mengecup punggung tangan itu tanpa suara. Bahkan jika memang ini kesempatan terakhir baginya, Hanan harap ia sudah siap.

Jovan, laki-laki yang sedari tadi diam di belakang Ratih itu memang tak banyak bicara. Dibandingkan Hanan dan Angga, gengsinya untuk mengungkapkan kasih sayang memang sebesar itu. Tapi, dihadapkan dalam situasi ini tentu saja diluar bayangan Jovan. Matanya memanas, bersamaan dengan sesak yang kian mengikat dadanya dengan begitu erat.

Sacrifice: Askara Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang