20. Radev Isn't Alone

5.4K 566 72
                                    

Radev benci dirinya sendiri.

Ia benci ketika gagal menjadi kuat, sekalipun itu hanya pura-pura. Ia benci ketika orang-orang menatapnya penuh iba, sekalipun memang dirinya selemah itu. Radev benci dipandang tak berdaya, tak berguna, tak bisa diandalkan, tak bisa apa-apa. Radev sangat membencinya.

Jauh di dalam relung hati yang terdalam, Radev selalu mempertanyakan hal serupa kepada Tuhan atau orang-orang yang bersedia memahaminya, "Apakah orang sakit tidak boleh tahu rasanya menjadi manusia yang benar-benar manusia?"

Farid pernah mengatakan bahwa orang-orang seperti Radev itu adalah orang hebat. Bukankah semua orang terlahir dari tempat yang sama? Tumbuh dengan menghirup partikel oksigen yang serupa? Tapi, kenapa hidup seberat ini untuk dijalani sebagian orang? Termasuk Radev.

Kenapa sakitnya selalu menjadi alasan dibalik penolakan orang-orang yang berlandaskan 'takut direpotkan'? Padahal jika Radev dibiarkan mati pun, ia tidak akan menyalahkan atau menghantui siapapun.

"Orang pake waktu istirahat tuh buat makan, bukan buat ngelamun." Suara bariton milik seseorang menginterupsi Radev agar kembali pada realitas hidup, menepis pikiran-pikiran random-nya untuk beberapa saat.

Raka sudah duduk tepat di samping Radevㅡdi salah satu kursi yang terdapat di gazebo. Kemeja hitam plus celana bahan berwarna senada masih melekat rapi pada tubuh keduanya, sekalipun jejak keringat nampak jelas di leher serta kening mereka. Radev dan Raka mengenakan atribut yang sama persis, hanya pita putih yang terpasang di lengan kiri atas Radev sebagai pembeda. Tanda khusus untuk mahasiswa yang butuh perhatian khusus alias sakit parah.

"Raka udah makan?" Radev bertanya.

"Gak laper."

Radev tertawa kecil, jelas sekali kebohongan dari lawan bicaranya itu. Terbukti dengan suara yang berasal dari perut, teriakan cacing-cacing kelaparan.

"Bunda bikin banyak," ucap Radev seraya membuka sebuah kotak makan berukuran sedang. Cukup membuat nafsu makan Raka meningkat saat melihat nugget berwarna golden brown dan satu sandwich yang sudah terbagi dua. Ada scramble egg didalamnya, Raka sudah salah fokus kesana sejak tutup bekalnya dibuka. "Makan bareng ya." Lanjut Radev.

Kalimat barusan bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan. Radev langsung memberikan setengah roti lapis pada Rakaㅡtanpa adanya persetujuan sebelumnya dari laki-laki itu.

"Bunda lo jago masak."

Sudut bibir Radev seketika menukik kebawah, "Padahal itu aku sendiri yang bikin."

"Hah? Bukannya tadi lo bilang Bunda lo bikin banyak?"

"Nugget-nya."

"Oh. Haha." Raka tertawa kikuk, "Lo jago juga bikinnya."

Cukup lama mereka menikmati makan siang dan menghabiskan jatah waktu istirahat, sampai tak terasa acara masa bimbingan akan kembali dimulai. Ya, Radev kini sedang menjalani kegiatan Mabim Fakultas dan sudah berlangsung setengah hari dari jadwal yang dicanangkan, yaitu dua hari satu malam.

Butuh banyak perjuangan sampai Ratih dan Mahendra mengizinkan, tapi dengan segenap keyakinan yang terpancarkan, Radev berhasil membujuk keluarganya. Walaupun tentu saja Mahendra tidak akan membiarkan puteranya bebas tanpa pengawasan, masih ada Ardhi dan Ren yang dipercaya sebagai mata-mata.

***

"Intinya, Teknik bukan hanya tempat untuk mereka yang punya privilege, bukan hanya tempat untuk mereka si jenius dan si ahli sains. Teknik adalah tempat untuk semua orang, mereka yang ingin berkembang, yang siap mencintai profesi ini dengan sepenuh hati nantinya. Kalian paham?"

Sacrifice: Askara Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang