11. As A Big Brother

6.3K 624 40
                                    

Radev telah sampai di pekarangan rumah setelah diantar pulang oleh Ardhi, Jovan memberi kabar bahwa akan pulang terlambat sebab ada project bersama dosen yang harus segera diselesaikan. Beruntung Radev mengenal Ardhi, lebih tepatnya dikenalkan oleh Jovan. Paling tidak, selagi menunggu dirinya beradaptasi dan memiliki teman, ia tidak perlu memikirkan bagaimana caranya pulang saat Hanan turut menyibukkan diri dengan lembaran prokernya.

"Makasih, kak Ardhi. Hati-hati di jalan!" Radev melambaikan tangan pada mobil Ardhi yang mulai menjauh keluar dari komplek. Suasana sore ini tampak sepi, mungkin karena langit juga sudah terlihat mendung.

Netranya mengedar ke sekitar, padahal ini sudah jam pulang sekolah bagi Angga. Tapi, rumah tampak kosong seperti tak berpenghuni.

"Angga? Kamu udah pulang?" Tanya Radev seraya mengetuk pintu berwarna abu-abu bertulisan 'Markas Rahasia Sangga' disana. Tidak ada jawaban. Tapi, entah kenapa hati Radev membawanya untuk tetap masuk ke dalam.

"Angga!"

Berlari tentu saja menjadi pantangan bagi Radev, tapi ia tidak bisa berjalan dengan santai saat melihat sang adikㅡAngga sedang meringkuk diatas ranjang sembari memegang perutnya.

"Angga, hei, kamu denger kakak?"

Hanya ringisan pelan yang terdengar, peluh sudah membajiri wajah itu, Radev merasa hatinya tercubit saat Angga terus merintih sakit pada bagian perutnya. Pucat pada bibir adiknya begitu kentara, di tengah kepanikan ini, Radev berusaha menelpon Mahendra dan Ratih dengan tremor yang benar-benar mengganggu pergerakannya.

"Halo, sayang, kenapa?"

"Bun-da dimana.. A-adek sakit bun.." Radev merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengontrol kepanikannya dengan baik. Napasnya menyesak beriringan dengan keluhan-keluhan yang keluar dari bibir Angga. Sungguh, ia lebih memilih sakit sendiri daripada harus melihat orang lain yang sakit. Apalagi ini adalah adiknya.

"Astaga, bagaimana bisa? Bunda pulang sekarang, nanti ada dokter Farid yang ke rumah. Tenang ya, sayang, jaga adik kamu dan jangan sampai kambuh."

Panggilan itu berakhir, Radev kemudian kembali memfokuskan diri pada Angga. Bermodalkan pengalamannya yang sering bolak-balik ke Rumah Sakit dan menyaksikan banyak tindakan pertolongan pertama. Radev lantas membantu Angga untuk berbaring dengan benar.

"Tenang ya, dek. Ada kakak disini."

Angga tak merespon, anak itu masih sibuk menekan pusat rasa sakit. Perutnya terasa perih sekali. Angga belum pernah mengalami ini sebelumnya, itulah mengapa dia sangat panik dan semakin panik karena sakitnya tak kunjung membaik. Radev dengan penuh kelembutan mengusap bagian yang sakit, menahan tangan Angga agar tak semakin menyakiti diri.

Kurang dari 10 menit akhirnya dokter Farid dan 2 orang perawat datang. Radev segera menepikan tubuhnya dan memberikan ruang agar adiknya segera diperiksa. Kekhawatiran masih dirasakan Radev, sekalipun Angga sudah bisa lebih tenang setelah mendapatkan injeksi. Bohong jika Radev tidak merasa takut, takut jika sesuatu yang buruk terjadi.

Radev memijat pelipis, apakah ini juga yang dirasakan semua saudaranya saat ia sakit atau kambuh? Rasanya benar-benar membuat tidak nyaman.

Karena Mahendra masih ada meeting dan belum bisa dihubungi, Ratih pulang seorang diri. Wanita itu langsung mendekat kearah putera bungsunya setelah dokter Farid selesai melakukan tugas. Rambut Angga tampak lepek karena keringat, begitupula napasnya yang terlihat masih terengah. Beruntung ada tabung oksigen yang disimpan di kamar ituㅡyang semula disediakan jika asma Radev kambuh disana, tapi ternyata bisa bermanfaat juga untuk sang adik.

"Sepertinya Angga memakan makanan yang terlalu pedas sebelumnya. Saya tidak menyalahkan siapapun, tapi mbak Ratih, tolong lebih perhatikan lagi pola makan Angga sebelum magh-nya bertambah parah."

Sacrifice: Askara Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang