Tepat pukul 12 malam, disaat seharusnya semua orang masih terlelap dan mengarungi mimpi mereka, namun hal itu tidak berlaku bagi Angga. Remaja yang sedang berada di penghujung masa sekolahnya itu tengah sibuk menata lilin-lilin kecil di atas sebuah kue.
Senyuman terpatri di wajah, Angga merasa bangga atas hasil karyanya. Walaupun tak dapat dipungkiri jika kue itu dibeli dari toko langganan Ratih, tapi tambahan hiasan menggunakan buttercream itu hasil karya tangan Angga sendiri.
Tidak mungkin tanpa alasan Angga merelakan sebagian uang tabungannya keluar dari celengan, jika ini bukan hari ulang tahun kakak kesayangannyaㅡRadevㅡAngga tidak akan bersusah payah.
Angga sepenuhnya sadar bahwa malam telah semakin larut, kesunyian yang akrab berpadu dengan suara detik jam yang berdenting perlahan. Namun, tak cukup kuat untuk menghentikan langkahnya menuju kamar Radev. Melangkah perlahan demi meminimalisir bunyi yang tercipta, walaupun membutuhkan waktu sedikit lama untuk sampai.
Pintu kamar terbuka dengan penuh kehati-hatian. Senyum Angga menyendu saat melihat kedua netra Radev tengah terpejam damai, ditemani selang panjang yang masih melingkar di bawah hidung bangir itu. Hampir saja Angga memundurkan langkahㅡmenunda kejutan hingga esok pagi, saat lenguhan kecil terdengar dari si empunya kamar.
"Angga?" Lirih Radev, pandangannya belum sepenuhnya jelas, apalagi redup lampu kamar yang semakin membatasi jarak pandangnya.
"Kak ..." Angga duduk di tepian ranjang, menyentuh perlahan punggung tangan Radev yang terasa dingin. "Selamat ulang tahun." Lanjutnya seraya menyodorkan sebuah kue berukuran sedang.
Gelap yang mendominasi membuat Radev tidak bisa membaca keseluruhan tulisan pada kue itu, ia hanya tahu jika Angga pasti sudah menuangkan seluruh hatinya diatas kue itu. Senyuman manis terbit, di tengah keheningan malam yang semakin memeluk diri.
"Kenapa lilinnya gak dinyalain?" Tanya Radev, tangannya terulur untuk memainkan lilin-lilin berbentuk vertikal.
"Asapnya gak baik buat kakak," jawab Angga.
Radev kembali mengulas senyuman. Kini ia sudah bisa melihat dengan jelas wajah sang adik, ada beberapa jejak keringat disana. Hatinya terenyuh, Angga benar-benar membuktikan ucapannya, setiap kali ia mengatakan bahwa ada tempat tersendiri bagi Radev di dalam hati itu.
Bak kaset tua, Radev memutar memori lama di dalam kepala. Setiap tahun berganti dan angka pada umurnya bertambah satu, selalu ada perjuangan kecil yang Angga hadiahkan padanya. Entah berupa barang, sesuatu yang bisa ia kenakan, sesuatu yang bisa ia makan, atau sesuatu yang bisa ia aminkanㅡdoa.
Setiap kali rasa sakit itu berusaha mencekik Radev dan menghadapkannya pada ujung kematian, bayangan Angga selalu terlintas tanpa permisi. Seolah memintanya untuk tetap bertahan dan menjadikan diri adiknya sebagai alasan, alasan untuk tetap hidup. Seperti yang selama ini Angga lakukan untuk diri sendiri dengan menjadikan Radev sebagai kekuatan baginya.
"Make a wish, kak."
Suara itu berhasil menginterupsi Radev untuk kembali ke kenyataan, ia memegang kue tersebut dibantu sang adik. Berdoa seraya memejamkan mata, memanjatkan berbagai harapan di dalam hati, lalu berpura-pura meniup api dan menyingkirkan sisa asapnya.
"Aku boleh tau wish kakak?" Pinta Angga.
Radev menggeleng, ia menyimpan jari telunjuknya di depan bibir, menjadikan itu sebagai isyarat. "Itu rahasia negara, Angga cukup aminkan saja, oke?" Tambahnya.
"Maaf ya kak, aku ganggu waktu istirahat kakak. Padahal aku bisa ngelakuin ini besok pagi, padahalㅡ"
"Kenapa ya saudara-saudaraku senang sekali berandai-andai dan menyalahkan keadaan yang sudah terjadi?" Tukas Radev. "Kakak gak marah kok, malah kakak seneng karena kamu datang sekarang." Lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice: Askara Devan [END]
Fanfiction[ Brothership, Sicklit, Angst ] ㅡ TERSEDIA VERSI CETAK Namanya Askara Devan, tapi akrab disapa Radev. Punya 2 kakak dan 1 adik, tapi semua orang memperlakukan dia berbeda karena katanya Radev itu istimewa. Kalau kata Sangga, Radev mirip kayak kaca...