Hambar, mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kehidupan Radev selama ini. Tidak ada kisah cinta monyet selama masa sekolah, apalagi kisah bolos sekolah seperti pada serial yang pernah Radev tonton. Tidak ada yang spesial dari semua itu.
Ia terlahir di keluarga yang mendapat title cemara, tumbuh dengan limpahan kasih sayang, dan semua hal yang mendukung Radev untuk selalu mensyukuri hidupnya. Walaupun jauh di dalam pikirannya yang random, Radev overthinking. Jika bahagia menjadi agenda rutinnya selama ini, apakah kelak ia akan mendapat sedih yang begitu mendalam?
Radev memang tidak peduli apa kata orang, tapi ia percaya akan satu hal. Percaya bahwa dunia ini bagai wahana bianglala, ada kalanya kita berada diatas puncak dan hampir menyentuh awan, ada kalanya pula kita terbentur lapisan tanah yang kotor dan merasakan sakit.
"Jangan kebanyakan ngelamun, Dev. Nanti drop terus absen lagi, mau?"
Radev mengangkat kepalanya, melihat presensi Ardhi yang tiba-tiba datang dengan drafting tube yang tersampir di pundak kanannya. "Lho bukannya kak Ardhi ada project lapangan? Kok bisa ada disini?" Tanya Radev penasaran.
"Udah selesai. Ternyata konstruksinya lebih simple dari draft yang dikasih dosen, anak-anak padahal udah ngeluh takut medannya gak cukup buat dikelarin dalam seminggu, eh 2 jam aja rampung ternyata." Ardhi bercerita, "Kita disana juga cuma ngelakuin analisis kecil-kecilan, sisanya dibalikin lagi ke pekerja disana."
Radev hanya bisa mengangguk saja, paham tak paham dengan apa yang dikatakan seniornya itu. Mata Radev sedari tadi sibuk memindai kertas-kertas yang dibawa Ardhi, ada gambar rencana tapak, standar grafis, bahkan notasi. Sedikit banyaknya Radev paham apa itu, karena memang pada dasarnya jurusan yang sedang ia tempuh ini erat kaitannya dengan jurusan Ardhi.
"Kira-kira aku mulai dapet project lapangan ini semester berapa ya, kak?" Tanya Radev sekali lagi dengan penuh rasa penasaran. Entah kenapa ia tiba-tiba membayangkan dirinya mengenakan topi proyek berwarna kuningㅡatau bahkan putih jika diperbolehkan.
"Masih lama, Dev. Tingkat dua sebenarnya udah mulai keluar area kampus, tapi paling hectic pas udah tingkat atas. Capek banget sumpah, kakak gak habis pikir kamu malah kepengen masuk Sipil."
"Memacu adrenalin, kak," balas Radev diakhiri kekehan.
Setelah puas berbagi cerita dan pengalaman, akhirnya Ardhi pamit lebih dulu karena ada rapat BEM. Meninggalkan Radev seorang diri di Gazebo Fakultas Teknik di tengah teriknya matahari siang.
Radev sebenarnya ingin pulang, kelasnya sudah berakhir 1 jam yang lalu. Tapi, entah kenapa ia masih belum siap untuk menghadapi Ayah atau Bundanyaㅡlebih tepatnya dia masih belum move on dari kejadian semalam.
***
Suara gelas yang dilempar keras menyentuh lantai sontak saja membuat keempat putera Mahendra itu terlonjak kaget. Mereka melihat sendiri bagaimana kepala keluarga itu membanting benda yang ada disampingnya dengan penuh emosi, pun Ratih yang sudah mulai meneteskan air matanya sembari menutup mulut.
"Yah!" Teriak Hanan. "Ayah sama Bunda kenapa, sih? Ini udah malam dan kalian masih aja ribut," lanjut si sulung dengan napas terengah. Jujur saja, kejadian yang baru saja dilihatnya itu sedikit menyulut emosi dalam diri Hanan.
Bagaimana tidak? Sore tadi Radev baru saja kembali setelah dirawat 5 hari di Rumah Sakit, Angga juga baru pulang sekitar jam 6 karena ada latihan taekwondo, begitupula Jovan yang baru sampai rumah sekitar 30 menit yang lalu. Adik-adiknya terlihat lelah semua, tapi istirahatnya harus terganggu dengan keributan seperti iniㅡyang sebelumnya tidak pernah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice: Askara Devan [END]
أدب الهواة[ Brothership, Sicklit, Angst ] ㅡ TERSEDIA VERSI CETAK Namanya Askara Devan, tapi akrab disapa Radev. Punya 2 kakak dan 1 adik, tapi semua orang memperlakukan dia berbeda karena katanya Radev itu istimewa. Kalau kata Sangga, Radev mirip kayak kaca...