10. Don't Pretend

6.4K 621 97
                                    

Meskipun hidupnya lurus-lurus saja, tapi Radev punya rasa penasaran yang tinggi. Saat dirinya masih berusia 6 tahun, Radev penasaran pada daun yang berjatuhan dari pohon di belakang rumah. Ia penasaran, kenapa daun mudah sekali terlepas dari tangkainya hanya karena terpaan angin, apakah daun itu selemah tubuhnya? Untungnya, rasa penasaran itu tidak bertahan lama, bisa bahaya kalau tiba-tiba Radev menemukan teori baru seperti Issac Newton hanya karena sesuatu jatuh dari atas.

Radev juga pernah penasaran, penasaran bagaimana rasanya menjadi seperti Hanan, Jovan, atau Angga. Bukan iri, ia mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari kedua orang tua, Radev hanya ingin tahu.. Apakah menjadi normal itu menyenangkan?

Mahendra dan Ratih benar-benar memperlakukannya 'berbeda'. Radev tidak diwajibkan untuk mendapatkan nilai bagus, Radev tidak dipaksa untuk meneruskan bisnis keluarga, Radev juga tidak dituntut untuk menimba ilmu sampai ke universitas. Cukup baik-baik saja dan tetap hidup, hanya itu yang diinginkan kedua orang tuanya. Tapi, Radev juga punya rasa malu, ia malu jika harus hidup tanpa motivasi dan goals. Terlalu datar dan tidak seru, begitu pikirnya.

Itulah mengapa, saat menentukan jurusan kuliah, tanpa lama-lama memandang layar komputer, Radev langsung memilih 'Teknik Sipil' sebagai tujuan utamanya.

Tidak, Radev tidak ahli dalam fisika, tidak pula lancar saat mengerjakan soal perhitungan. Radev tahu ada banyak PR karena memilih jurusan jauh dari apa yang bisa ia jangkau, bahkan tak pernah terbayangkan dalam benak jika kuliah di teknik menjadi masa depannya.

Radev memandang cermin seukuran tubuhnya, melihat pantulan tubuhnya yang kini berbalut kemeja putih dan celana hitam, tidak lupa dasi dan jas almamater berwarna kuning. Tas ranselnya yang terlampir di pundak kirinya itu terlihat cukup penuh, semua barang-barang yang ia butuhkan untuk hari ini telah siap. Jovan yang membantunya semalam.

Rencana Tuhan itu memang tidak ada yang bisa menduga. Padahal beberapa hari sebelum hari pelaksanaan UTBK, Radev sempat drop sampai harus opname. Tapi, pada akhirnya ia tetap bisa mengikuti ujian, walaupun asmanya sempat kambuh di akhir sesi. Wajar saja, AC di ruangan ujian diatur sedingin mungkin.

Menunggu selama beberapa waktu, Radev beberapa kali tertidur lebih larut dari biasanya karena overthinking. Bagaimana jika ia gagal, bagaimana jika ia tidak bisa membanggakan Ayah dan Bunda, bagaimana jikaㅡ Banyak sekali ketakutan yang menggerayangi Radev saat menunggu pengumuman hasil.

Beribu syukur terpanjatkan saat Radev membuka hasil pengumuman bersama keluarganya, tulisan 'lolos' yang terlihat pada laman website itu langsung membuat Hanan berhambur memeluk sang adik diikuti oleh adiknya yang lain. Mahendra merangkul pinggang ramping sang isteri, tersenyum melihat pemandangan di depan mereka bersama-sama. Tuhan, semoga kebahagiaan ini akan bertahan lama. Begitulah harapan dari si kepala keluarga.

"Dev, kakak udah titipin kamu sama temen kakak, namanya Ardhi. Pokoknya kalo dirasa udah gak kuat, jangan maksain, oke?"

Radev hanya mengangguk saja mendengarkan ucapan Jovan. Ia kemudian turun dari mobil setelah berpamitan, sedikit membenarkan posisi ranselnya dan mulai berjalan masuk ke area kampus. Sayang sekali Jovan bukan bagian dari panitia penyelenggara ospek, jadi ia tidak bisa memantau adiknya secara langsung.

Dengan langkah perlahan, Radev mulai masuk ke barisan yang sudah ditentukan sejak awal. Cahaya matahari sudah terlihat pagi ini, daripada berujung pingsan, Radev memilih untuk diam saja di paling belakang. Padahal seharusnya, jika melihat dari aturan, tinggi badan Radev mengharuskan ia berbaris di depan.

"Dek, barisnya di depan. Berurut sesuai tinggi badan."

Radev menoleh saat mendengar suara itu, ia melihat seorang perempuan dengan name tag berusaha untuk memindahkan posisinya berdiri.

Sacrifice: Askara Devan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang