"Kamu mikirnya kejauhan, Dev. Ayah sama Bunda baik-baik aja kok, paling bentar lagi Bunda marahin Ayah karena ngurus burung mulu."
Radev menghela napasnya, ia rebahkan tubuh lelahnya diatas ranjang milik Hanan. Sore iniㅡsepulang dari kampus bersama Hanan, kedua bersaudara itu bercerita banyak hal. Agenda yang sudah jarang dilakukan mengingat betapa sibuknya si sulung akhir-akhir ini.
Hanan tidak menganggap adiknya itu berlebihan dalam berpikir. Wajar saja, Mahendra dan Ratih selalu terlihat akur di depan anak-anaknya. Tapi, setiap keluarga pasti memiliki kekurangannya masing-masing. Hanan, sebagai sulung di rumah itu, dirinya terlampau hafal dengan tabiat orang tuanya. Mahendra maupun Ratih, keduanya sama-sama budak cinta. Kesalahpahaman kemarin tidak akan membawa hubungan yang sudah terjalin puluhan tahun itu berakhir di meja hijau pengadilan, begitulah asumsinya.
Walaupun sampai detik ini, Mahendra belum terlihat batang hidungnya di rumah, pun dengan Ratih yang lebih memilih menyibukkan diri di luar.
"Aku cuma takut, kak."
Hanan dengan perlahan mengusap rambut Radev, "Udah, udah. Pikiran negatif cuma bakal ngasih impact negatif juga buat tubuh kamu. Di dalam sini.." Hanan menyentuh kening Radev dengan telunjuknya, "Lebih baik diisi sama yang baik-baik aja, biar gak sakit lagi."
Baru saja Radev ingin mengelak dan mengatakan bahwa tidak semua pikiran negatif itu mengantarkan pada hal negatif pula, tapi cairan kental berwarna merah tiba-tiba mengalir begitu saja dari hidung bangir miliknya.
"Kan, baru juga diomongin."
Beberapa lembar tisu diterima Radev dari kakaknya itu, "Kalo mereka baik-baik aja, terus kenapa sampe sekarang Ayah sama Bunda belum pulang ke rumah?"
"Ayah kan emang sok sibuk orangnya, Bunda juga paling lagi shopping. Kalo udah gitu kan mereka jadi suka lupa waktu," ucap Hanan masih membantu menghentikan mimisan Radev. "Ini kok gak berhenti-berhenti, sih? Kamu kecapekan apa gimana?" Lanjutnya bertanya.
Radev tak menggubris pertanyaan barusan. Jangankan menjawab, fokusnya saja sudah beralih pada langit di luar yang mulai berubah warnanya. Golden Hour, kata Angga sih itu namanya. Warnanya cantik, terlihat begitu hangat, membawa Radev kembali kepada kenangan lama.
Pintu gudang yang ditutup rapat, pun debu yang terbang asal diatas kepala. Luka perih di bagian punggung sampai pinggang, entah bagaimana bentuknya, Radev yakin bentuknya pasti melintang panjang. Yoana adalah saksi sekaligus penyebab Radev seringkali menjalani sorenya dengan rasa sakit, melewatkan kesempatan untuk melihat keindahan seperti ini.
"Ngelamun lagi. Sebenernya apa yang kamu pikirin, Dev? Dokter kan bilang jangan terlalu banyak pikiran. Percuma kamu membatasi aktivitas, kalo otak kamu gak dikasih waktu buat istirahat." Hanan kembali bersuara sembari membereskan sisa-sisa tisu yang sudah kotor, untung saja mimisan adiknya itu tidak sampai di tahap memelurkan bantuan profesional.
"Aku masih bangun, kak." Radev kembali merebahkan tubuhnya yang sempat berubah posisi karena mimisan tadi, "Aktivitas otak cuma bakal menurun kalo pas lagi tidur, beda lagi kalo kita paradoksal. Albert Einstein sering ngelamun, tapi dia berhasil dapet nobel tuh."
"Einstein ngelamun mikirin efek fotolistrik, kamu ngelamun mikirin hal-hal yang gak penting. Jangankan dapet nobel, digadai sama ketoprak sepiring aja gak cukup."
Dengusan kesal terdengar, Hanan tertawa pelan melihat wajah Radev yang ditekuk. Senang sekali rasanya saat berhasil membuat anak dengan tingkat kesabaran dan ketenangan tinggi itu akhirnya goyah juga.
"Jangan terlalu memforsir diri ya, Dev." Hanan mengangkat tangan untuk kembali mengusap lembut rambut hitam Radev yang ternyata sudah agak lepek, "Sakitnya kamu, sakit kakak juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice: Askara Devan [END]
Fanfiction[ Brothership, Sicklit, Angst ] ㅡ TERSEDIA VERSI CETAK Namanya Askara Devan, tapi akrab disapa Radev. Punya 2 kakak dan 1 adik, tapi semua orang memperlakukan dia berbeda karena katanya Radev itu istimewa. Kalau kata Sangga, Radev mirip kayak kaca...