“Apa maksud Anda menyentuh ponsel ku?”
Ibra tak kalah datar memandang, telepon telah berakhir. Tepatnya, Keira merebut benda pipih tersebut lalu menggeser ikon merah beriring emosi.
“Apa perlu kuajarkan Anda tentang privasi?”
Pegangan pada ponsel, mengerat. Keira dirundung amarah. Amat sangat, Ibra menangkap itu.
“Atau Anda mengira, pernikahan tadi membuat Anda bisa seenaknya padaku?” tuding Keira, melupakan sopan-santun serta takut pada sahabat ayahnya ini. “Butuh kuingatkan alasan di balik pernikahan itu?”
“...”
“Atau butuh kuingatkan jika aku hanya-”
Grep!
Keira sigap mencekal tangan Ibra sesaat berupaya pergi. Tidak, ia harus menegaskan satu hal.
“Aku hanya menolong nama baik Anda, camkan itu.” Keira berujar penuh penekanan. “Dan bagiku, Anda tidak lebih dari suami sebatas lisan. Jadi... jangan berlagak seakan-akan Anda sungguhan pasanganku.”
‘Suami sebatas lisan.’
‘Suami sebatas lisan.’
Terngiang-ngiang, tanpa henti. Bahkan meski telah berjam-jam terlewat, Ibra tak dapat mengenyahkannya. Berputar bak film, menguasai isi kepala.
‘Suami sebatas lisan.’
Tak seutuhnya salah, Keira mengutarakan fakta. Bahwa, pernikahan mereka dilandasi kekalutan orang-orang terdekatnya akibat Irena menghilang dan spontan saja mencari pengganti. Ibra sadar itu, mengakui pula dalam hati terkait kelancangannya mencampuri privasi. Yang ia pribadi bingung, atas dasar apa melakoninya?
“Apa kepindahanku tidak kau harapkan lagi, Sayang?”
Mendengar, namun Ibra tak menghiraukan.
“Apa aku harus pulang lagi?”
“...”
“Sayang?”
“...”
“Sepertinya, iya.”
“...”
“Tapi aku terlanjur resign.”
“...”
“Jadi, sorry. Aku tetap menjabat sebagai sekretaris mu, yeay!”
Tak.
Ibra menyentak bolpoin ke permukaan meja, ketika pengganggu itu hendak berhambur memeluk. Tak suka disentuh, terlebih oleh laki-laki.
“Hehe, ayolah~ pelukan rindu.”
“Dasar sinting.”
“Diam kau, Bocah!”
Ibra tak sendiri sejak datang, sepupu kembarnya menyusul ke kantor. Kembar identik, beda jenis kelamin; Carlson Reinard dan Carlen Reinard.
“Bocah your eyes.” Carlen menyahuti hinaan sang adik, menyudahi acara melahap salad nya. “Duduk di sini, jangan usik calon duda itu.”
“Mulutmu.”
“Bantu aku memilih tempat untuk kita semua merayakan perceraiannya.”
“Carlen!”
“Why?” santai Carlen, seolah tak merasakan perubahan atmosfer sekitar. “Aku hanya berkata apa adanya. Menikahi perempuan lain lalu masuk kerja keesokan hari, tidakkah itu menunjukkan kalau sepupu kita ini tak berminat dengan istrinya?”
Carlson terbungkam.
“So, tak salah aku menyebutnya calon duda ‘kan?”
“Tetap tidak sopan, Carlen.”
“Kasihan Keira.”
“...”
“Orang yang tak tahu apa-apa, pasti melihatnya sebagai istri yang tidak diinginkan.”
“...”
“Dan jika aku di posisinya, sudah kuhempaskan pria semacam sepupu mu itu.” Carlen mencerca. “Dibantu menjaga nama baik, tapi malah mempermalukanku.”
“Jangan berlebihan, Ibra hanya bekerja.”
“Dia tidak miskin, oke?” pungkas Carlen. “Libur sepuluh tahun pun tidak akan membuatnya miskin. Apa salahnya tinggal di rumah sebentar? Minimal sampai cuti selesai!”
“Daripada menganggur, Carl.” bela Carlson. “Mereka asing satu sama lain, pasti canggung untuk sekedar sarapan bersama.”
“Lalu menghindar dengan pergi ke kantor?” sarkas Carlen. “Apa dia tak berpikir jika itu berpotensi besar memicu rumor negatif?”
“Rumor negatif apa?” jengah Carlson atas asumsi tak berdasar sang kakak. “Dia ke kantor, bukan ke hotel.”
“Ya, dan apa kata orang melihat pengantin baru berkeliaran di tempat kerja sehari setelah menikah?”
“Apa salahnya?” balas Carlson. “Banyak orang di luar sana juga begitu, dituntut untuk-”
“Ibra presdir di sini,” sela Carlen. “Tidak ada tuntutan dari mana pun supaya dia memangkas cutinya untuk segera bekerja.”
“...”
“Gila kerja, silakan. Tapi tahu situasi.” Carlen berpaling atensi menuju sosok yang diperbincangkan. “Sudah tahu banyak pihak berniat keras menjatuhkan, tapi masih saja ceroboh.”
Ibra itu workaholic, Carlen tak lupa. Pekerjaan bagai teman hidup baginya, kantor seperti rumah. Terlebih ruangan ini, tempat ternyaman. Demikianlah kira-kira.
Akan tetapi, haruskah sampai begini? Hadir di perusahaan, sehari pasca resmi menyandang status suami? Apalagi di luar sana sedang gempar, menyangkut mempelai wanita CEO Depaul Group yang berbeda dari nama di undangan. Semestinya, Ibra lebih menjaga sikap. Itu maksud Carlen.
“Aku pulang.” Bangkit dari sofa, Carlen menyandang slingbag nya. Percuma berceloteh panjang-lebar, Ibra terlampau dingin untuk memahami situasi. “Semoga saja media tidak semakin bertingkah.”
Klek
Carlen membuka pintu dan dikejutkan eksistensi seseorang, berpakaian serba hitam beserta masker.
Walau begitu, Carlen masih cukup hafal. Siapa gerangan dia. Adalah Irena, calon istri Ibra yang sesungguhnya.
“Carl?”
Tersadar, Carlen sontak memajang raut dingin. Teringat betapa panik keluarganya semalam akibat ulah mantan pramugari ini.
“Ibra di dalam ‘kan?”
“Siapa yang mengizinkan mu kemari?”
“Aku harus bertemu Ibra.”
“Pergilah.”
“Please,” melas Irena. “Aku tahu dia di dalam, biarkan aku-”
“Pergi.”
“Hanya sebentar.”
“Pergi selagi aku-”
“Ada apa ribut-ribut?” Carlson menginterupsi.
Carlen berdecak, membuang muka ke sembarang arah.
“Who are you?” tanya Carlson.
Irena menatap pria itu. “Tolong, biarkan aku bertemu Ibra.”
“Kau siapa?”
Irena melepas maskernya.
Carlson langsung terdiam.
“Aku ingin menjelaskan soal semalam, please-”
“Pergilah.” Kini, Carlson yang mengusir. Kekacauan semalam bukan sekadar kacau, ia menyaksikan sendiri sindiran demi sindiran para tamu kepada keluarganya. Terkhusus Ibra, dituduh macam-macam sampai dicemeeh impoten bahkan penyuka sesama jenis. Tentu, sebab dua kali sudah pria itu gagal menikah. Nyaris tiga, bila Keira tidak bersedia.
“Aku akan menjelaskan semuanya.” Irena tak menyerah, bulir bening berbondong-bondong menggenangi pelupuk mata. “Ibra mengabaikan teleponku bahkan tak bisa kuhubungi sejak-”
“Kau terlambat.” Carlson memotong. “Kau pasti sudah dengar kabar dia menikahi perempuan lain ‘kan?”
“Aku butuh Ibra.”
“Murahan,” desis Carlen tersulut emosi. “Berani-beraninya kau berkata begitu setelah mempermalukan dia, hah?”
“Aku punya alasan.”
“Simpan alasan mu!” sentak Carlen. “Simpan dan bawa sampai mati.”
“Aku menyesal memendamnya sendiri.”
Menangis, wanita cantik itu menangis. Carlson urung tatkala hendak memanggil security.
“Aku kira, melepas dia adalah pilihan terbaik. Tapi ternyata-”
“Usir dia, Son.”
“Aku sakit, Carl.”
“Sakit jiwa?”
“Carlen,” tegur Carlson akan kelantaman tersebut.
Carlen mengepalkan tangan, gatal ingin menampar sosok di depannya. Namun, ia tahan sekuat tenaga mengingat reputasi karier selaku data scientist yang harus ia pelihara baik-baik. Meski di lantai khusus ruang kerja Ibra ini tak banyak pegawai, tapi mereka tetaplah orang luar.
“Aku tidak sanggup menghadapinya sendiri.” Irena tersengal, sesak menghantam dada. “Aku butuh dia, butuh Ibra. Aku tak bisa melawan sakitku ini sendiri. Jadi, tolong... biarkan aku bertemu dengannya.”.
.
.
TBC
-090521-Bagi yg pengen baca duluan, chapter 4 sudah up di KaryaKarsa. Harga perchapter 500 rupiah
Oh ya, Daco-Keira ada cerita sendiri sebelum ini. Judulnya Overblown, di KaryaKarsa sudah tamat (6.500 rupiah sampe end)
Barang kali penasaran, silakan mampir:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Phlegmatic
Romance(Sequel of Overblown) Dipaksa menikahi sahabat ayahnya, Keira Alba tak mampu berkutik ketika keadaan sendiri sedang di ujung tanduk. 📌 BAHASA BAKU ⚠️ HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN ⚠️